Part 21

1K 67 6
                                    


Lantai yang aku duduki seakan berputar, mata berkunang-kunang dan mual. Apa karena seharian berpuasa tanpa sahur, atau ada hal lain. Untung ada ibu dan Avian, yang membantu merawat anak-anak yang juga mulai rewel tak jelas.

"Biarkan saja Ardian mau kirim apa, njenengan sudah dipagari. Rumah saya bersihkan, paling hanya sebentar saja reaksinya anggap angin lalu." Gus Ilham menenangkan hati karena rewelnya anak-anak tidak biasa, terutama Musa.

Bocah bermanik hitam kelam itu membuang semua mainannya ke lantai, sedangkan mulutnya terus mendesis seperti suara ular. Tidak mau didekati siapapun kecuali aku, kemana bergerak maka Musa mengikuti seakan ingin membuatku marah. Untung saja ada peringatan dari Pak Giman agar lebih sabar karena jika marah, maka hal buruk itu mudah merasuki.

Berulang kali mencoba memeluk Musa dan membacakan doa, tetapi kepalanya selalu menjauh meskipun tubuhnya melekat erat di tubuhku. Dengan sedikit memaksa aku merengkuh tubuh bocah tujuh tahun itu, perlawanan terjadi tetapi tidak lama. Dengan segera membacakan doa dan shalawat gaib di ubun-ubun, membuat Musa mengerang sebentar sebelum memelukku erat dan tertidur.

Berulang kali menyebut Asma Allah agar dikuatkan melewati malam ini, air mata menetes deras. Perut bawah ikut bereaksi, seperti ada sesuatu yang bergerak di sana tapi aku abaikan. Fokus pada tubuh Musa yang berubah panas, si bungsu demam.

Musa Textillia Prasetya, sengaja mengambil nama latin pohon pisang raja untuk bayi mungil yang pernah aku sia-siakan kehadirannya. Berharap agar Musa tumbuh seperti pohon pisang, yang bisa hidup dan berbuah di mana saja. Terus tumbuh meskipun dipotong batangnya, tak akan menyerah sebelum dia menghasilkan buah. Jantung pisang akan merontokkan pembungkus buahnya pelan-pelan untuk menghasilkan buah terbaik. Setelah dirasa cukup, maka jantung akan semakin menjauhi buah dan mengecil serta rontok di setiap helaian jantungnya. Kecuali ada yang memotong batang penghubung jantung dan buah. Pisang, dari akar hingga daun bisa dimanfaatkan. Bahkan jantung yang sudah menghasilkan buah dan mengecil, masih bisa diolah menjadi makanan lezat. Semoga kelak, Musa menjadi umat yang selalu ringan tangan dan bermanfaat serta tumbuh berumpun tanpa jeda dan terpisah seperti pohon pisang

Lewat tengah malam semua kembali normal, kami terlelap hingga subuh menjelang. Namun, ada yang aneh di tubuh ini. Udara pagi yang sejuk dan ruangan dengan pendingin, tetapi aku merasakan gerah dan berkeringat. Bahkan setelah mandi dan shalat pun keringat sudah seperti habis berjemur.

"Ih, Mama, bau?!" seru Jasmin saat aku membantunya mengenakan baju seragam.

Aku menunduk untuk mencium badan di area ketiak, aroma Bunga Tanjung dari cologne yang aku pakai.

"Wangi kan, Dek?" jawabku sambil menowel pipi gembulnya

"Bau, Mah!" Jasmin bahkan menutup hidungnya, Ibu menatap di depan pintu.

"Iya, Nduk. Tadi mau tak bilangi kok takut tersinggung, kayak e ora beres?!"

Mengernyit karena mendengar ucapan ibu, sepagi ini kepada siapa harus konsultasi. Gak mungkin aku meeting dengan kondisi yang tak aku rasakan ini. Mungkinkan Ardian sengaja membuat malu dengan mengirim teluh agar tubuhku bau dan dijauhi orang. Gus Ilham pasti sibuk kerja, Pak Giman bisa saja sedang istirahat sebab semalam dinas malam. Namun, tetap mencoba mengirim pesan baik ke Gus Ilham, Pak Giman juga Gus Ali.

[Jangan menggunakan air di rumah untuk bersih diri, sepasar.]

Chat dari Pak Giman yang melarangku menggunakan air yang mengalir ke rumah untuk keperluan diri selama sepekan. Lalu, aku mandi, wudhu, dan lain-lain kemana? Apa dari sumber air ilmu sihir itu dikirim, karena pasti aku menggunakannya. Cerdas, sangat cerdas para pemuja iblis itu mencari celah.

Rumah Vita sering kosong, aku bisa menumpang di sana. Tidak akan ada orang curiga karena akulah yang menyalakan dan mematikan lampu, karena dititipi sang empunya. Hati agak tenang, berarti semua memang tidak beres selama Ardian tidak di rumah.

Perempuan KetujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang