Part 9

945 50 0
                                    

"Yang ...!" panggil Ardian sesaat aku pulang dari menemui rekan bisnis, anak-anak sepi berarti sedang ke TPA.

Aku hanya mengintip dari depan pintu kamarnya, remang-remang. Sudah tidak pengap lagi seperti beberapa hari lalu, harum parfum Ardian lebih menonjol. Terlihat Ardian mencoba duduk dengan mimik menahan sakit, tetapi hatiku seakan beku dan tidak tergerak untuk membantunya.

Ardian menepuk kasur tepat di sisinya, "Duduklah, Yang! Meskipun aku bejat, tetapi tidak mengajarimu untuk tidak sopan kepada suami." Aku mencebik mendengar ucapannya dan menuruti apa keinginannya. Diulurkan telapak tangannya, sekilas aku mencium dan duduk di samping.

"Aku minta maaf, selama ini selalu menyakiti dan membuat kecewa." Aku tak merespon ucapan Ardian, karena sudah bosan mendengar setiap kali kami berselisih. Ardian diam, mungkin tahu apa yang kupikirkan. Berlalu dari kamar karena harus membaca doa setelah Ashar seperti yang Gus Ilham ajarkan.

Waktu berlalu, sudah tujuh hari Ardian sakit. Minta berobat aku antar, cek ini itu hasil normal. Ingin tertawa, karena tahu semua obat itu tidak manfaat. Biarkan saja lelaki yang kini kelihatan lemah dan kuyu itu merasakan akibat perbuatannya. Semua ilmu telah hanyut bersama air yang selalu aku berikan, air yang dikirimi doa Gus Ilham dari jauh. Berangsur pula tubuh Ardian segar, tetapi nampak berbeda dari yang dahulu. Wajahnya masih tampan tetapi dengan aura yang alami. Sikapnya berubah lebih manis dan tulus, anak-anak diantar ke sekolah. Bergantian menjemput dengan Wawan, atau aku.

"Yang, aku bikin nasi goreng ya buat sarapan?!" Ardian melongok ke dalam kamar Jasmin, membuatku mengernyit. Takut jika menaruh sesuatu di dalam makanan, tetapi selama ini Ardian lebih banyak di rumah. Pergi kerja jika aku sedang ngantor di rumah, itupun juga tidak lama. Maka membiarkannya kali ini memasak untuk kami, aku mengamati semua gerakannya.

[Suamimu sudah banyak berubah, tetapi kamu harus waspada bahaya dari luar]

Chat misterius itu datang lagi setelah beberapa hari menghilang, aku beranikan diri menelpon. Tidak direspon.

Satu bulan berlalu, Ardian menjadi suami yang manis. Meskipun demikian aku masih terus was-was, hanya Gus terus meyakinkan bahwa itu adalah Ardian yang sebenarnya. Nafsu yang selama ini seakan tidak ada puasnya, kini Ardian normal saja dalam urusan ranjang. Mungkin benar jika dahulu Ardian keranjingan bermain mesum itu karena ada jin di dalam tubuhnya, tidak pernah puas. Perutku perih mengingat semua perjalanan ini sejak awal kenal.

"Yang, aku ingin kuliah lagi nempuh master." Ardian memelukku dari belakang ketika sedang membuatkan susu untuk anak-anak.

"Heemm?" jawabku sambil melepaskan pelukan, karena tangannya mulai bergerilya.

"Aku masih ada uang, tapi bisa pinjami dulu buat tambahan kan?! Aku ingin buka kantor sendiri, Yang. Males ikut orang terus."

"Aku gak ada uang, Pian ambil dulu itu uang perusahaan. Aku harus bayar ke Cahyo."

"Hanya kurang dua tigaan, Yang. Gak banyak!"

Dengan uang pinjaman dari bank dengan tanpa agunan atau KTA, Ardian mendaftar ke PT untuk S2. Aku berpikir mungkin dengan sibuk kuliah dan punya kantor sendiri, akan jauh dari godaan perempuan di luar sana. Santi, aku tidak lagi perduli bagaimana kabar perempuan itu. Hanya sesekali melihatnya dari jauh ketika aku berkunjung ke kantor Cahyo.

***

"Yang ... Yang!" Tergopoh Ardian masuk ruang kerjaku, wajahnya terlihat murung padahal tadi pergi mengantar anak-anak masih ceria.

"Hapemu mana sih?"

"Oh aku off, lagi isi batre."

"Kita tulak wadah Abah, Ninik Ijah meninggal."

Perempuan KetujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang