Part 25

1.2K 72 6
                                    


"Mama ... Mama, pulango cepat!" Sativa menghubungi melalui ponsel, seperti sedang panik.

"Kenapa, Nak?" Hari ini Mbak Umi izin pulang setengah hari setelah anak-anak pulang karena ada hajatan.

"Ada orang katanya cari Mama, tapi kenapa minta KTP Mama?" Aku mengernyit mencoba mencerna ucapan Sativa yang seakan takut didengar.

"Maksudnya gimana, Kak?"

"Di bawah ada orang, buka-buka laci Mama di kantor." Tubuhku menegang, siapa gerangan.

Segera menghubungi satpam perumahan agar datang ke rumah, sebab takut ada kekerasan terhadap anak-anak. Meskipun urusan belum kelar, aku pulang seperti kesetanan melajukan motor.

"Kak Re, tolong ke rumah. Bawa anak-anakku ke sana, aku terjebak macet." Terpaksa meminta bantuan Rere agar menjemput anak-anak.

Satpam perumahan melaporkan jika tadi sempat melihat dua orang laki-laki keluar rumah, saat dipanggil malah melajukan motor dengan cepat. Karena lebih fokus keselamatan anak-anak, satpam segera menemui mereka yang ketakutan. Berkas di kantor berantakan, bahkan cincinku yang tertinggal di laci juga tidak ada.

"Tadi siang Papa pulang, tanya mana Mbak Umi. Lalu pergi dan tiba-tiba ada orang kasar tadi, Mah." Aegel masih gemetar saat aku datang dan menjemput mereka di rumah Rere. Mungkinkah itu orang suruhan Ardian, untuk mencuri berkas berkedok tamu.

"Mama, uang yang buat bayar TPA diambil." Sativa tak kalah gemetar, sebab dia yang punya inisiatif naik ke kamar atas dan menelpon  Jasmin dan Musa cerdik, mereka masuk kamarku dan mengunci diri di dalam.
Beruntung anak-anak tidak diapa-apakan, meskipun mereka sangat ketakutan melihat para bajingan itu mengobrak-abrik kantor.

Dalam kebingungan agar sidang perceraian ini segera berakhir, aku mengambil keputusan untuk mencari kontrakan. Lebih baik membawa anak-anak keluar, sebab bisa saja Ardian menyuruh orang lagi datang ke rumah. Keselamatan anak di atas segalanya, yakin Allah akan memberikan jalan rezeki untuk kami.

Membayar sewa rumah dari sisa uang fee dari perusahaan, dua tahun sesuai permintaan pemilik rumah. Setelah kejadian pencurian itu Ardian tidak pulang, memperkuat dugaan jika dia menghindari tuduhan. Namun, itu lebih baik sebab aku leluasa untuk packing barang-barang.

Selesai Asar, aku mengangkut barang-barang kecil. Berisi baju, buku, dan peralatan dapur terlebih dahulu. Bapak ibu sudah menunggu di rumah kontrakan, setelah berbuka puasa baru membawa barang-barang besar. Semua barang dibeli dengan gajiku, tidak satupun barang rumah tangga dibeli oleh Ardian.

Karena begitu antusias, anak-anak enggan berbuka puasa di rumah lama karena ingin makan bersama nenek kakek mereka. Hanya membatalkan puasa dengan gorengan dan es teh yang diperoleh dari masjid dekat rumah.

"Mama, nanti kakak ikut truk saja boleh?" Aegel dengan semangat membawa kopernya turun, serta milik adik-adiknya.

Wawan datang tepat saat azan dan ikut berbuka puasa dengan makanan ala kadarnya, sebelum mengangkut barang-barang ke kontrakan. Sativa dan Aegel ikut rombongan Wawan, dengan dua pickup mereka berangkat terlebih dahulu. Musa dan Jasmin bersama mobil yang lain, sedangkan Avian mengawal dengan motor sebagai penunjuk jalan. Aku belakangan karena pamit ke tetangga kanan kiri. Ada Vita dan Mbak Indriani yang memeluk erat, seakan aku pergi jauh hingga melepas dengan derai air mata.

"Bu ... Bu ...." Satpam perumahan datang tergopoh, membuatku heran karena pasti ada ketidak beresan yang terjadi di luar sana.

"Mobil e ditahan reserse dan dibawa ke Polsek karena diduga pencurian." Hanya bisa melempar pandangan ke arah kedua sahabatku. Siapa yang melapor?

Perempuan KetujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang