Part 12

876 54 6
                                    

Blukk ... bluuk.

Suara aneh terdengar dari kamar Ardian, anak-anak menatapku dengan mimik yang sama. Ketakutan. Memasang wajah senyum agar mereka tidak semakin takut, lampu kunyalakan semua. Namun, keributan di kamar Ardian semakin menjadi.

"Kakak, Adik diajak ke kamar Mama dulu, gi!" Aku mengusap kepala Aegel, dan menyuruh mereka untuk di dalam kamar. Masih dengan wajah yang ketakutan, tetapi tanpa sanggahan mereka menurut juga. Dengan degup jantung yang teramat nyaring, aku menghampiri kamar Ardian. Semakin dekat semakin jelas terdengar suara aneh, seperti dengungan kipas angin tetapi terkadang seperti suara cicitan burung. Entah dari mana datangnya keberanian ini datang, dengan segera menggeser daun pintu.

"Allahu Akbar ...," pekikku sambil merunduk dan menutup kepala dengan kedua telapak tangan.

Puluhan kelelawar keluar dari kamar Ardian yang gelap, bau pesing dan anyir segera menusuk indera penciuman. Seakan dituntun oleh sesuatu hal yang tak nampak, burung-burung itu menuju pintu utama yang masih terbuka dan lenyap. Masih dengan tubuh yang gemetar, aku berdiri dan mencoba meraih saklar. Rapi. Kamar Ardian sangat rapi seperti biasa dia mengaturnya, sungguh aneh tidak ada kotoran kelelawar secuil pun di lantai. Hanya aroma yang aneh, membuat bulu kuduk berdiri. Tanpa menunggu lama, segera menutup pintu dengan lampu tetap menyala.

"Ayo sikat gigi, wudhu, dan bobok semua." Aku menyuruh anak-anak untuk ritual sebelum tidur, dan mengantarkan mereka ke lantai atas.

"Mama ... Adik, bubuk sama, Mama!" Jasmin merengek disusul oleh yang lain, mereka tidak mau tidur di kamar sendiri.

Perasaan anak lebih peka, aku yakin ada yang tidak beres di rumah ini. Gerah dan 'singup' membuat perasaan tak nyaman. Segera membaca doa yang diajarkan Gus Ali, sambil menahan nafas seperti ketika aku sedang Yoga. Memang merasakan hawa yang dingin setiap melewati kamar Ardian, maka di depan pintu yang tertutup aku memberanikan diri mengulangi bacaan doa hingga tujuh kali. Kepala mulai berat, dengan segera berlalu dari sana.

Pesan Gus Ali, doa itu tidak boleh dibaca lebih dari sebelas kali. Sebab tubuh tidak kuat menahan hawa panas dari efek yang ditimbulkan. Sekilas nampak bayangan keluar beruntun dari pintu, segera membaca doa lanjutan. Tak ada rasa takut, hanya ngeri memikirkan jika anak-anak yang melihat. Mereka lebih sering di rumah hanya di temani Mbak Umi, akan menambah masalah jika aku tinggal kerja.

Di ranjang besar, keempat bocah tertidur saling berhimpit karena masing-masing membawa guling. Hati ini teriris tanpa sebab,  mereka masih terlalu kecil untuk mengetahui masalah orang tuanya. Air mata mengalir deras ketika menatap Musa, sebab dulu kehadirannya sempat ingin aku buang. Kebencianku terhadap Ardian seakan berada di puncak, setelah aku tahu hamil lagi setelah kandungan berjalan tiga bulan. Betapa tololnya aku jadi perempuan, tidak tahu diri sedang hamil dan juga tidak berKB.
Mengapa saat itu semua urusan seakan tidak ada jernihnya, hanya menurut apa yang diperintahkan Ardian dan keluarganya.

Dulu aku berjanji pada diri sendiri, setelah menikah akan menuntut cerai Ardian. Namun, Allah berkehendak lain. Setelah enam bulan menikah, Ardian ketahuan selingkuh dengan mantan kekasihnya. Ketika hendak mengajukan gugatan, ternyata aku tengah hamil tiga Minggu. Setelah usia Aegel menginjak sembilan bulan, lagi-lagi Ardian ketahuan selingkuh. Parahnya lagi, kekasihnya hamil dan Sativa diserahkan oleh Dewi yang tak lain adalah temanku di sebuah komunitas di Surabaya. Dewi tidak pernah tahu siapa suamiku, dan terlena oleh rayuan Ardian yang mengaku masih bujangan.

Marah, itu pasti. Hingga aku hampir tidak menyelesaikan skripsi karena tertekan mengasuh Sativa sedangkan Aegel saja diasuh Ibuku. Bayi Sativa seakan tahu diri, tidak pernah rewel meskipun aku tidak menjadi ibu yang baik. Dengan tinggal di rumah mertua bersama bayi Sativa, aku semakin tahu perangai sebenarnya Ummi dan kedua anaknya. Hanya Abah yang masih bersikap baik, hingga aku lulus dan tinggal di Surabaya bersama Ardian. Aku hidup, tetapi jiwa entah di mana. Setiap kali Ardian selingkuh, aku selesaikan dengan cara yang elegant dan kembali rukun. Keinginan bercerai seakan hilang dari kamus hidup, bahkan aku menolak setiap kali Virgi menghubungi. Padahal Virgi yang rajin membelikan anak-anak susu dan keperluanku.

Perempuan KetujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang