Part 8

959 55 0
                                    

"Besok aku antar ke Gus Ilham, mau?" Vita memegang tanganku dan menawarkan bantuan untuk bertemu guru spiritual mereka.

Sedikit gamang, apakah aku harus mengambil jalan ini. Jika terjadi sesuatu dengan anak-anak bagaimana? Mereka masih terlalu kecil untuk sekedar tahu apa yang terjadi. Aku menatap bocah-bocah lugu itu dengan perasaan tak menentu, terlebih Musa. Seharian tidak mau aku tinggal meski sekedar ke kamar mandi. Kata Mas Dian, siapa yang terlihat oleh yang terkena teluh maka itu sebagian petunjuk siapa pelakunya. Perempuan? Apa dia Santi ... bukankah Cahyo pernah mengingatkanku bahwa Santi memiliki pasukan iblis. Namun, mengapa Ardian acuh mendengar kegaduhan kami.

***

Menjelang ashar aku membawa anak-anak ke rumah adik, menitipkan mereka selagi aku bertemu Gus Ilham bersama Vita. Memasuki jalan yang cukup untuk satu mobil saja, memarkir kendaraan di halaman masjid baru kemudian berjalan memasuki gang kecil di samping rumah penduduk. Rumah mungil dan aku harus merunduk ketika memasuki pintu. Setelah menunggu beberapa saat, keluar lelaki sekitar limapuluh tahun dengan baju koko putih. Wajahnya tenang, cenderung pendiam. Vita menceritakan maksud tujuan kami, Gus Ilham kemudian bertanya nama lengkap Ardian dan nama bapaknya.

Aku terdiam, sebab ragu apa Abah itu benar ayah kandungnya atau orang lain. Sejak awal mengenal Ardian, aku mengira bahwa kami sama-sama anak angkat Abah. Namun, setelah menjadi istrinya ada keluarga yang bilang kalau Ardian itu anak dari istri Abah yang terdahulu. Di lain waktu Ardian bilang jika ayahnya sekarang di Abu Dhabi. Ardian memiliki kulit putih, sedangkan Abah berkulit gelap. Namun bisa saja menurun ibunya yang masih keturunan suku Dayak yang identik berkulit putih dan bermata sipit. Ah terlalu rumit meruntut kisah hidup lelaki bergelar suamiku itu.

"Maaf, Gus. Siapa ayahnya saya belum yakin, tapi coba ini saja." Aku menulis nama Abah di kertas yang disodorkan Gus Ilham.

"Iya, dia memang ayahnya. Tapi karena takut Ilham bertanya terus siapa ibu kandungnya, maka Abah ini berbohong tentang jati dirinya."

Jika mengingat cerita hidup Ardian dari neneknya, hatiku merasa iba. Bagaimana dia menjadi anak kurang perhatian dan terbuang. Ummi yang notebene ibu tiri selalu pilih kasih, menjadikan Ardian anak kecil yang harus bekerja agar bisa sekolah. Membatasi semua kebutuhan dan keinginan, menjadikan Ardian tumbuh sebagai pribadi yang ambisius dengan menghalalkan segala cara mendapatkan keinginan.

"Bojo Pean itu suka bermain ilmu hitam." Gus Ilham langsung menebak kebiasaan Ardian, aku hanya bisa mengangguk. Teringat buku tebal bersampul coklat di almari Ardian, di sana ada catatan mantra-mantra.

"Apa Abah yang mewariskan ilmu itu?" tanyaku karena mengingat Abah juga seorang ahli spiritual yang pernah membantuku.

Gus Ilham menggeleng, "Abahnya tahu jika Ardian sembrono, jadi tidak mengajarkan ilmunya. Hanya dibekali beberapa untuk pagar diri." Aku ingin tertawa, pagar diri? Apalagi itu. Apa kalung yang dipakai Ardian itu yang dimaksud Gus.

"Ilmunya termasuk sesat, Mbak. Bahaya!" Gus Ilham menatapku seakan tahu apa yang tengah aku pikirkan.

"Bahaya untuk siapa, Gus?" Vita bertanya sambil menatapku.

"Semua, qodam yang dimiliki bisa berubah jahat. Sebab iblis mana ada yang baik, meskipun kesepakatan sudah mereka setujui. Tapi jangan cemas, saya akan meluruhkan semua ilmu dan qodam yang dipakai Ardian."

"Tandanya apa jika proses pembersihan itu terjadi, Gus?"

"Lakukan saja apa yang saya ajarkan, ingat jangan bantu Ardian jika dia berteriak kesakitan!"

Gus Ilham tidak memberikan sesuatu untuk dibawa pulang, aku bingung apa benar akan membersihkan ilmu hitam dari tubuh Ardian. Abah dulu menyembuhkanku dengan minum air yang dibacakan doa, sekarang Gus hanya menyuruh sholat malam dan dzikir. Aku yang seorang mualaf tidak paham ada beberapa ayat yang bisa digunakan untuk mengobati, hanya menurut saja saat diberi pesan untuk membacanya setelah shalat.

Perempuan KetujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang