"Ma ... siapa ndek dalam?" tanya iparku sesaat setelah dari dapur mengambil makanan untukku."Ndek mana?"
Baskara hanya menunjuk kamar Ardian, aku menggeleng. Tidak ada siapa-siapa di rumah ini, tetapi kata iparku melihat bayangan orang sedang keluar dari kamar mandi dan masuk kamar Ardian. Aku segera mengubungi Gus Ilham, tetapi penuturan beliau membuatku bergidik.
"Ada dua orang yang mengirimkan 'paket'!" Aku mengernyit, mencoba memahami kata paket yang diucapkan Gus Ilham.
"Yang satu mau njenengan dijauhi suami, yang satu mau agar njenengan lengket sama suami."
Pikiranku langsung tertuju pada keluarga Ardian, tetapi yang ingin memisahkan itu siapa? Aku yang mulai lelah dengan kisah rumah tangga ini seakan dibuat dilema, keduanya pilihan yang sulit. Jika aku bertahan dengan Ardian, maka harus sanggup menghadapi keluarganya dan menjadi sapi perah bagi mereka. Harus tahan melihat kelakuan Ardian yang semakin hari semakin sesat saja. Aku memang tak paham haq dan bathil, tetapi paling tidak sedikit paham tentang kebenaran.
Haruskah aku menyerah dan menjauhi Ardian, tetapi bagaimana anak-anak yang masih membutuhkan kasih sayang seorang bapak. Kasih sayang? Senyum ini terlalu pahit meski sekedar membayangkan melihatnya perhatian terhadap darah dagingnya sendiri. Masih teringat jelas dalam pelupuk mata ini ketika Aegel menumpahkan makanan dari meja makan. Teriakan Ardian membuat rumah seakan runtuh. Pernah juga dengan Musa, yang tanpa sengaja menjatuhkan laptop.
Dengan emosi, dipegangnya dua kaki Musa. Dengan kepala di bawah, Ardian memasukkan tubuh Musa ke dalam bak mandi. Beruntung aku sudah pulang dan mendengar jeritan anak-anak yang ketakutan karena melihat perilaku papanya.
"Ardiaaan!" teriakku sambil merampas tubuh Musa dari tangannya, bocah tiga tahun itu menggigil dengan nafas yang terputus-putus karena saluran nafasnya penuh dengan air.
Tubuh ini begitu perih melihat anakku yang hampir sesak nafas, gila sangat gila. Entah apa yang ada di benak lelaki yang begitu menjaga kesopanan di depan orang lain, tetapi kasar terhadap anak yang berbuat sedikit kesalahan.
"Sudah, anak lelaki jangan dimanja!" Ardian berkacak pinggang sambil menatapku yang menepuk punggung Musa agar memuntahkan air dari mulutnya.
"Aku tidak memanjakan anak, tetapi tidak harus begitu memberi pelajaran untuk anak."
"Halaaah, aku dulu memecahkan gelas saja ditenggelamkan Abah di kulah." Aku menatap tajam ke arah Ardian.
Sudah menduga jika sikapnya ini dipengaruhi oleh masa lalunya yang pahit, dan kini dilampiaskan terhadap anakku. Apa jadinya jika di rumah ini ada bak mandi seperti di rumah Abah, mungkin anakku sudah mati ditenggelamkan.
"Pian bukan Abah dan aku bukan Ummi yang membiarkan anaknya dianiaya! Ingat, aku bertarung nyawa melahirkan mereka. Jika Pian berani kasar sama anak, aku tak akan tinggal diam!" Jari telunjukku mengarah tepat di hidungnya, sebelum berlari ke kamar dengan membawa Musa yang masih menggigil kedinginan.
Jika teringat waktu itu, dada ini masih sangat sesak. Tidak habis pikir mengapa ada orang tua yang tega berlaku keji seperti itu. Terkadang sangat perih mendengar kisah hidup Ardian yang diasuh ibu tiri, tetapi tidak seharusnya dia memperlakukan anak seperti demikian juga.
"Bayangan yang di kamar Ardian itu adalah jin yang disuruh untuk mengawasi, njenengan." Gus melanjutkan lagi penerawangannya.
Untuk apa aku harus diawasi, oleh siapa dan untuk apa. Apa mungkin Ardian menempuh ilmu sesat lagi, apa ilmu Abah juga demikian hitamnya? Namun, meskipun Abah sering menerima pasien di rumahnya, tidak ada aroma aneh atau syarat yang sangat mencolok tentang hal gaib. Entahlah, aku tak paham semua.

KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Ketujuh
Детектив / ТриллерPernikahan yang terpaksa di jalani oleh Nana (Tectona grandis) dengan Ardiansyah karena dirinya telah diperkosa. Nana tidak pernah tahu bahwa Ardian seorang penganut ilmu hitam, yang mencari tumbal dengan meniduri para perawan. Selama 9 tahun Nana...