Part 13

811 54 2
                                    


Malam berlalu tanpa masalah, aku tertidur di sofa kamar sebab anak-anak masih enggan tidur di lantai atas. Trahim subuh membuatku terjaga, segera mandi dan berniat sholat di masjid perumahan. Namun, saat menunduk untuk berwudhu di pancuran dekat carport, aku menangkap sebuah bayangan yang berdiri di belakangku. Berpikir Ardian pulang diam-diam dan berusaha mengangetkan, tetapi setelah menengok bayangan itu hilang. Bersamaan itu pula tubuh ini mulai menggigil, hingga tangan seakan kaku. Berjalan tertatih menuju masjid yang hanya berjarak lima puluh meter dari rumah.

Anehnya, semakin dekat dengan masjid tubuh ini menghangat sendiri. Bahkan saat dzikir, merasakan berkeringat dan gerah. Aku tetap bersimpuh hingga semua orang berlalu dari sana. Berbicara sendiri kepada Allah, mengeluh dengan semua kisah yang harus aku jalani. Bertanya sebesar apa dosa ini hingga ujian hidup begitu berat dan membuatku seakan menduakanNya. Memohon petunjuk agar diberikan jalan menuntaskan masalah tanpa harus mengikuti jalan Ardian yang syirik. Air mata tak lagi tertahan, membasahi mukena.

"Kita dihadirkan pada kehidupan orang lain itu bisa menjadi berkah bisa menjadi ujian. Dan kini kamu menjadi berkah bagi orang yang hadirnya menjadi ujian bagimu. Teguh hati dan tetap husnudzan kepada siapa saja, Allah tidak akan pernah meninggalkan hambaNya yang bertaqwa."

Aku yang semula menunduk, terkejut dengan suara yang datangnya dari belakang. Dengan segera memutar tubuh, tetapi tidak ada siapa-siapa di dalam masjid. Lantas siapa suara laki-laki yang tadi berbicara, aku berdiri dan berjalan ke tempat wudhu. Semua kosong. Segera kembali ke rumah karena takut anak-anak terbangun, waktu sudah menunjuk angka lima pagi.

***

"Apa sih ini, berantakan semua!" Datang-datang Ardian langsung beraksi, mencoba mencari masalah agar aku tak menegurnya tentang tahun baru.

"Kenapa ... masalah?" Aku menatapnya tajam, harus melawan semua dalih dan kelicikan yang selama ini dia mainkan.

"Apa kerjamu, hingga rumah berantakan?!"

"Cari uang, kendalikan perusahaan, mengasuh, dan mendidik anak. Pian, sendiri kerja apa?" sinisku sambil mencebik.

"Aku sedang nemui klien, aku harus belajar jadi Lawyer!"

Aku terbahak hingga air mata menggenang di pelupuk, Ardian menatap heran.

"Oh nemui klien itu rela jadi kuda untuk anak klien dan membiarkan anak istri menunggu diajak liburan, begitu?" Ardian melotot, terkejut karena aku tahu apa yang dikerjakan di luar sana.

"Anjing tetap anjing! Di rumah dikasih makan daging, di jalan ketemu tai dimakan juga!" sinisku lagi, menatap tajam ke lelaki yang terlihat sangat lelah itu.

Tak ada jawaban atau sanggahan meskipun aku menyebutnya binatang, tak perduli dosa apa yang akan kudapat tetapi lelaki seperti Ardian memang lebih hina dari anjing. Aku bekerja keras agar bisa hidup layak, tetapi suamiku malah tidak becus menjadi kepala rumah tangga. Segala omelan keluar begitu lancar dari bibirku, entah mengapa kali ini Ardian tak menjawab sepatah katapun. Kuungkit semua kesalahan dan masalah yang dia lakukan, hingga sikap kedua orang tuanya yang selalu menyudutkanku.

"Kalau aku memang bejat, sekarang maumu apa?" Ardian membalas tatapanku, membuat wajah ini menghangat.

Rupanya otaknya sudah teracuni oleh perempuan iblis itu, entah apa yang telah diberikan hingga Ardian begitu tunduk. Diam sejenak menimbang kalimat agar tak salah ucap, aku harus mencari celah agar tidak terus ditindasnya.

"Mau, Pian, sendiri apa?" jawabku sambil membalas tatapannya.

"Sudah durhaka sekarang!" serunya sambil mengangkat jari telunjuk ke mukaku.

"Durhaka? Hahaha ...." Aku tertawa lagi, membuat wajah Ardian semakin terlihat emosi.

"Ikam mau jadi seperti Maya istrinya Ahmad Dhany? Durhaka setelah bisa mendapat uang sendiri!" cercanya lagi.

Aku menepis tangannya yang masih mengambang di depan, "Durhaka atau tidak itu ada konteksnya, berkaca dulu sebelum mengatai istri durhaka!"

Ardian meninju meja, membuatku sedikit menciut. Tidak pernah Ardian begitu emosi, meskipun tak jarang bersikap agak kasar. Mungkin dia tahu aku telah menemui Dudung, dan mencoba mencari gara-gara agar aku tak mengusik masalah Santi lagi. Dasar lelaki pengecut, mencari kesalahan orang lain untuk menutupi kecurangannya.

"Untuk apa kamu menemui Dudung dan memfitnah Santi lagi?"

Aku melotot, "Memfitnah?" Ardian kembali menatapku dengan tatapan penuh amarah, aku harus melawan dan tak akan takut lagi.

Segera membaca doa yang diajarkan Gus Ali, menatap ke arah kening Ardian sebagai kunci auranya. Wajah tampan itu memang sudah tak seperti dulu, hanya balutan kulit yang tak berlapis jin. Sebab hampir tiap saat Gus Ilham memantau jika Ardian mengisi tubuhnya lagi.

"Kalau aku bikin fitnah, oke! Kasih aku penjelasan tentang ini!" Aku menyodorkan ponsel yang terdapat foto-foto Ardian bersama Santi.

Praaak.

Benda pipih itu menghantam dinding dan berkeping, bersamaan pula tangan ini menyodok perut Ardian dan membuatnya terjungkal. Aku merampas ponsel Ardian dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya.

"Ikam benar-benar durhaka ya!" hardiknya dengan muka yang merah padam, aku terbahak sambil mencoba berlalu dari hadapan.

"Kalau Ikam gak ganti hapeku, kita cerai!"

Aku menghentikan langkah, menatap tak percaya Ardian mengucap kalimat sakti itu. Talak satu telah terucap, apa ini jawaban dari Allah bahwa kami harus berpisah. Namun, hutang-hutang masih atas namaku. Jika semua dibebankan ke aku bagaimana bisa, sedangkan Ardian beberapa bulan ini yang membayar salah satu hutang di Bank.

"Kenapa diam? Takut?!" sinisnya lagi, aku tertantang.

"Untuk apa takut, cerai dari suami macam, Pian?  Sudah aku tunggu sejak dulu!"

"Lanjutkan saja, aku yang mulai atau Pian yang mulai, PA masih buka." Aku bersendekap dan berdiri bersandar pintu, meskipun tubuhku gemetar tetapi berusaha tenang.

Ardian berlalu sambil mengambil serpihan ponselnya, masuk kamar dan diam di sana beberapa lama. Aku berkemas sambil menunggu anak-anak pulang dari TPA, ingin jalan-jalan sambil membeli ponsel baru. Sengaja memanasi Ardian dengan membeli ponsel tipe terbaru, karena yakin dia tak tidak bisa beli baru.

Pulang dari belanja, kamarku sudah terbuka dengan kondisi lemari yang acak-acakan. Surat-surat perhiasan menjadi serpihan di lantai, aku tersenyum sinis. Ardian mencari perhiasanku yang sudah aku titipkan adik, sehingga surat-suratnya saja yang ditemukan dan dirobek. Gampang saja, aku beli perhiasan itu di toko temanku. Tinggal bilang akan dibuatkan salinan atau tukar tambah.

Manusia kardus, itu julukan untuk Ardian dari para sepupuku. Hanya modal tampang saja tetapi isi milik orang lain. Segera menghubungi Cahyo agar mengirim tukang pintu ke rumah, kunci harus aku ganti jika masih ingin aman semua benda yang memiliki nilai ekonomi tinggiku aman. Santi akan terus menjerat Ardian untuk menguras harta, untung saja sebagian aset sudah atas namaku. Hanya rumah ini yang atas nama Ardian tetapi masih belum bersertifikat karena angsuran masih 5 tahun lagi.

"Mana mobilku?" tanyaku ke Ardian yang pulang tanpa membawa kembali mobil yang dipinjamnya dengan alasan untuk bertemu klien.

Aku mengizinkan karena semalam hujan deras, dan Cahyo sendiri yang menelpon agar meminjamkan mobil untuk Ardian.

"Dipinjam Anto," jawabnya sambil masuk ke kamarnya.

Dengan segera aku membuntuti, "Kenapa gak izin dulu kalau mau pinjem? Lagian hak apa Pian meminjamkan mobilku?!" cercaku karena menangkap ketidak beresan dengan alasan Ardian.

Tidak mungkin iparku meminjam barangku tidak konfirmasi, terlebih dia sangat tidak menyukai Ardian. Menggedor pintu kamar yang ternyata dikunci, semakin memperjelas ada kebohongan yang disembunyikannya. 

Perempuan KetujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang