Part 16

995 72 4
                                    


"Na, gak papa ta?" Aku menoleh cepat ke arah Cahyo yang sedang mengendalikan laju gerobak besinya.

"Apanya?"

"Cerai?"

"Why not? Sudah talak tiga, paham hukumnya kan?!"

"Kayaknya habis ini ada gosip baru?!"

Aku mengernyit, mencoba memahami ucapan Cahyo. Terbahak setelah tahu maksud arah pembicaraannya, ya bukan hal baru jika maling teriak maling.

"Aku hanya gak nyaman jika Mbak Sifa tahu masalah ini, jadi tolong jaga hatinya sebelum mendengar dari orang lain."

"Apa kamu percaya aku sebersih itu yang gak mengendus kotoran di jalanan?!" Cahyo mengantarku hingga di rumah, sedangkan motorku di bawa Pak Pardi sopirnya.

"Yang pasti, Pean gak akan mengendusku, kan?"

Kami terbahak bersama, "Sementara bawa mobilku untuk urusan kantor. Gak mungkin kamu bau asap kenalpot ketika menemui klien!"

Entah mengapa dada ini begitu lapang meskipun gelar menakutkan sebagian perempuan telah aku sandang. Aku sadar tak mudah menjadi single parent, belum lagi menghadapi pandangan orang yang selalu negatif. Namun, mungkin ini jalan Allah yang terbaik untukku dan anak-anak. Yang pasti, satu pintu yang tertutup akan membuka pintu yang lain untuk aku lalui.

Menatap wajah anak-anakku dengan perasaan tak menentu, mereka masih terlalu dini mengetahui kehancuran istana ini. Namun, itu lebih baik dari pada dipimpin oleh seorang imam pelaku zina. Saat ini mereka belum paham apa yang bapak mereka lakukan, suatu saat jika mereka tahu akan merasa diberikan contoh yang harus dilakukan. Allohummafirlana Ya Rabb, hukuman apa yang  akan disandang jika itu benar terjadi.

Sesuai saran Cahyo, aku segera menyiapkan berkas alih nama perusahaan. Bukan hanya direktur pelaksana, tetapi juga sebagai owner. Mulai menyusun nilai aset, sesegera mungkin mengamankan sebelum Ardian menuntut gono-gini. Sudah pasti manusia licik itu akan meminta hak, meskipun hanya recehan yang disumbangkan untuk membelinya.

Mobil sudah pasti aman, tiga motor sebagai operasional perusahaan akan aku jual. Toh, supervisor jarang menggunakannya. Cukup menyisakan satu sebagai tungganganku. Pertengahan bulan, bersamaan dengan pengupahan karyawan kontrak akan aku alihkan semua saldo ke rekening yang sudah aku siapkan. Sertifikat tanah, selain rumah ini sudah atas namaku. Ternak yang dititipkan di saudara Ardian akan diam-diam akan aku jual, karena selama ini hasilnya juga sering dicurangi. Pening rasanya hidup dikelilingi para penghisap darah, mencuri keringat orang lain tanpa merasa bersalah.

"Yang ...?" Ardian tiba-tiba berada di ambang pintu ruang kerjaku, melihatnya sekilas karena tahu apa yang akan diucapkannya.

Jam dinding menunjuk angka sebelas, dari mana saja mantan suami itu kelayapan. Dia sudah menjadi orang bebas tanpa ikatan, pasti dengan sesuka hati melakukan hobbynya. Aku mengernyit mencium aroma wangi dari tubuh yang terlihat kuyu, bukan parfumnya. Dada tiba-tiba sesak dan itu membuatku sadar akan ada kehadiran hal gaib di antara kami. Masih belum menyerah rupanya, kali ini apa lagi yang akan dilakukan. Segera meraih ponsel dan mengirim pesan singkat ke Gus Ilham dan Pak Giman, itu yang terbaik.

Merasa diacuhkan, Ardian duduk di kursi berseberangan denganku. Wajahnya menatap pilu, tapi bibirnya bergerak seakan membaca mantra. Dengan segera aku merapal doa yang diajarkan Pak Giman, ruangan berubah menjadi hangat meskipun mesin pendingin aku nyalakan. Dalam hati ingin tertawa, betapa leganya lepas dari manusia iblis ini. Namun, tak boleh lengah sebab sekutunya yang tak nampak akan selalu berada di sekitar.

Wajah tampannya semakin pucat, kembali aku merapal doa yang lain. Mengusir para mahkluk astral itu dengan paksa, meditasi yang terselubung harus dijalankan. Mengatur pernafasan sedemikian rupa hingga tak nampak sama sekali, karena aku pura-pura masih mengendalikan mouse komputer. Bermain drama dengan cantik karena sering mempelajari gerak gerik manusia iblis di hadapan.  

"Yang, aku minta maaf."

Aku menarik sedikit ujung bibirku, bersamaan dengan chat masuk dari Pak Giman yang memberitahu bahwa Ardian tengah memasang perangkap pengasihan dari tatap matanya. Jika bisa aku harus menghindari menatap matanya, tetapi jika terpaksa maka titik pusat kening harus ditatap lebih lama dengan terus membaca doa.

"Yang ...?"

"Panggil namaku saja, geli mendengarnya!" ucapku sambil terus menatap monitor.

"Apa sudah hilang rasa hormatmu, hingga bicara saja sudah tak mau menatap?"

Aku tertawa lirih, "Hormat atau tidak tergantung yang dihadapi, jadi gak usah lebay. Katakan saja apa mau, Pian!"

Menatap tajam ke arah kening lelaki yang seakan merasa menang lagi telah berhasil memancingku dalam ilmu gaibnya. Hingga doa yang ketiga aku masih menatapnya, dan Ardian segera menunduk. Pasti tak akan kuat melawan kekuatan doa.

"Aku akan ajukan permohonan cerai besok," ucapnya sambil terus menunduk.

"Bagus, lebih cepat lebih baik."

"Namun, ada syaratnya!" Aku sudah mengira, dan pasti itu tentang harta.

"Pian minta gono-gini? Boleh!" sinisku membuat Ardian mendongak dan menggeleng.

"Aku mungkin bajingan, Yang. Tapi aku laki-laki yang gak mungkin merebut hak perempuan!" serunya berapi, membuatku mengacungkan jempol.

"Bagus dech kalau tahu diri! Toh anak-anak butuh biaya?!"

"Aku hanya minta diizinkan bertemu anak-anak seperti biasa, itu saja."

Bola mata kuputar cepat, seakan mengajak otak berpikir ekstra pula. Ini mungkin yang dimaksud Pak Giman, memasang sifat lembah manah dan nriman. Aku harus lebih hati-hati menyimak ucapan dan memberi jawaban.

"Kita memang sudah mantan suami istri, tapi tidak ada namanya mantan anak. Itu hak dan kewajiban Pian sebagai bapak, tak akan ada larangan untuk itu."

Ardian menarik napas panjang, seakan tahu pancingannya gak mempan.

"Semoga ikam bertemu jodoh yang muda, dan mencintaimu apa adanya. Menerima dan menyayangi anak-anak."

"Aamiin Allohuma aamiin ...." Dengan segera aku mengangkat tangan, membuat wajah Ardian kian kelu.

"Apa Ikam tidak berdoa untukku?" tanyanya sambil menatapku sekilas.

"Doa apa? Jodoh?! Pian lebih tahu apa yang terbaik, sebab doa tak harus disampaikan kepada orang yang didoakan jika memang itu tulus."

Ardian berdiri dan mengulurkan tangan untuk menjabat, dengan tersenyum aku menerimanya.

"Maafkan semua salahku, dan terimakasih atas kesabaran selama ini. Semoga di masa depan masih bisa berteman demi anak-anak. Sebab bagaimanapun mereka adalah amanah kita bersama."

"Okay, aku juga minta maaf jika selama ini tidak menjadi istri yang baik."

Ardian berlalu dalam diam, bersamaan dengan panggilan masuk dari Ibu. Aku menceritakan semua kejadian hari ini, agar mereka tahu saat ini status telah berubah secara agama. Terdengar ibu berulang kali membuang napas panjang, entah apa yang dipikirkan. Apa merasa kehilangan menantu kesayangan, atau memikirkan resiko status baruku. Entahlah.

Berpikir kalau harus tidur cepat, sebab pagi ada banyak urusan sebelum pergi ke PA bersama Ardian. Namun, langkah kaki ini terhenti di depan kamar Ardian yang rupanya sedang berbicara di telepon. Mendengar pembicaraannya, pasti dengan Santi. Ingin tertawa mendengar semua, tetapi nadanya kok gak yakin, dan seperti lemah gak semangat.

(Apa yang dibicarakan Ardian ke Santi? Hanya di novel, ya!")

Segera berlalu dari depan pintu ketika Ardian mengucap salam, tak ingin ketahuan menguping. Baiklah, Nana! Hadapi hari esok dengan optimis karena kisahmu telah berubah. 

 

Perempuan KetujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang