Part 15

940 76 3
                                    


"Segera urus alih nama kepemilikan perusahaan, kamu harus lebih fokus karena tidak mungkin mengandalkan Ardian. Aku rasa dia tidak serius menceraikan kamu!" ujar Cahyo setelah aku menceritakan semua tingkah laku Ardian.

Terlalu banyak omongan manis Ardian yang membuat tertawa, menyusun rencana masa depanku tetapi malah menjatuhkan talak.

"Aku akan bicara sama Ardian, bagaimana bisa dia bersikap demikian." Aku hanya diam mendengar ucapan Cahyo, karena sebenarnya tak ingin melibatkan orang lain dalam masalah rumah tangga.

Pulang ke rumah sudah disambut wajah cemberut Ardian di depan pintu, sudah menduga bahwa akan ada drama lagi. Tubuh lelahku seakan memberontak ingin menumpahkan segala kekesalan, tetapi ingat anak-anak berada di rumah maka aku mengurungkan niat. Semerah apapun bara dalam dada, tak ingin anak tahu dan meniru aku membumi hanguskan angkara.

"Dasar mulut sampah, katanya ketemu di PA nyatanya gak datang!" seru Ardian setelah aku turun dari motor, berkacak pinggang layaknya juragan nagih setoran.

Aku tersenyum, "O kenapa hanya datang dan gak bikin permohonan cerai? Toh aku akan tandatangani jika berkas siap?!" jawabku sambil menyandarkan punggung di tiang teras.

Ardian membisu, hanya menatap ke jajaran palem yang ada di taman. Dugaanku tidak pernah meleset tentang sikap dan tindakannya. Ardian hanya datang tapi tidak berani masuk ke PA untuk mengajukan permohonan cerai. Saat aku masuk rumah pun tidak ada kalimat lagi yang keluar dari mulutnya.

Selepas mahgrib, Ardian keluar tanpa pamit. Aku yang sibuk merawat anak-anak juga tak memperdulikan ke mana dia pergi, hanya membuang energi meladeni mahkluk satu itu. Harus semakin fokus mengembangkan perusahaan untuk masa depan anak-anak, tak mungkin mengandalkan manusia kardus macam Ardian.

Setelah anak-anak terlelap, aku berjalan pelan menuruni tangga menuju kamar. Namun, tercekat melihat Ardian yang sedang menuang sesuatu ke dalam guci di bawah galon air minum. Dengan mengangkat sedikit galon, Ardian menuangkan air dari dalam botol ke dalam guci. Masih belum memahami apa yang tengah dikerjakan, tetapi aku tetap diam di tempat hingga Ardian berlalu tanpa memergoki.

Dengan mengendap aku masuk kamar dan segera menghubungi Gus Ilham, tetapi tidak aktif. Memutar otak untuk mencari solusi siapa yang dapat membantuku,  memastikan apa maksud tindakan Ardian.

"Ardian pengen kamu nurut dan bisa rujuk, tetapi itu terserah kamu." Aku hanya menghela napas mendengar penuturan Pak Giman tentang maksud Ardian yang memberi air jampi-jampi di tempat minum.

Antara timbang dan rasa, hati ini resah mengambil keputusan. Jika aku berpisah, bagaimana dengan Sativa dan Jasmin. Untuk mencari nafkah mungkin tidak ada kendala yang berat, aku masih bisa bekerja dan menafkahi anak. Namun, Sativa dan Jasmin haruskah aku juga membawa serta mereka. Ataukah aku membagi anak dengan Ardian, sanggupkah berpisah dengan bocah-bocah tanpa dosa itu.

"Setan harus kamu lawan, Nduk! Jangan main perasaan, lawanmu bukan manusia lagi tetapi setan yang akan terus menyeretmu dalam lembah dosa. Namun, aku tak berharap kamu berpisah dengan Ardian. Semoga ada jalan yang lebih baik. Sholatlah, Nduk. Minta petunjuk, aku bantu dari sini." Virgi menenangkan gejolak hati ini, membuat tangisan kembali hadir di gelapnya malam.

Virgi, entah gelar apa yang harus aku sematkan. Di setiap waktu hanya dia yang meluruskan hati agar selalu ingat pada Sang Pencipta. Mencintaiku tetapi selalu mendukung agar tetap berada di sisi Ardian. Cinta macam apa? Benarkah aku merpatinya? Seekor burung yang tak memiliki empedu. Haruskah aku membuang segala pedih dan sakit untuk menerima segala perlakuan Ardian?

Setelah sholat malam, dengan mengendap aku mendekati galon di dapur. Isi tinggal sedikit jadi mudah saja menggantinya dengan yang baru. Membuang semua isi galon dan juga guci, bahkan mencucinya berulang kali sebelum memasangnya lagi. Botol-botol air di kulkas pun tak luput dari operasi bersih-bersih.

Perempuan KetujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang