Part 14

857 60 3
                                    


"Aku, capek, Yang!" Ardian membuka pintu dengan wajah kesal.

"Jujur saja, mobilku di mana?" Aku berkacak pinggang, tak sabar menghadapi sikapnya yang pengecut dan selalu berkilah.

"Ikam jangan keterlaluan, pelit dengan suami rezeki bisa seret."

Aku terbahak mendengar ucapannya, "Pelit jar Pian? Terus selama ini apa, makan dan ongkos dari siapa? Pian, yang 'cupar', paham!" seruku sambil menunjuk hidung bangirnya.

"Apa cupar?" tanyanya sambil menyingkirkan tanganku dari hadapannya.

"Suami yang tidak pernah memberi nafkah untuk anak istri, memberipun tidak cukup!"

"Ikam tahu, berapa gajiku?!"

"Lalu jika dapat fee dari jual tanah atau lainnya mana? Berapa tahun aku gak Pian kasih nafkah? Seret rezeki Pian sendiri yang bikin, paham!"

Segera berlalu dari hadapan Ardian, lama-lama pening kepala. Harus segera mencari keberadaan mobilku, tujuan adalah rumah Santi. Anak-anak sekolah aku bawa dengan motor bergantian, untung saja tidak hujan. Segera melajukan motor ke perumahan Santi, tetapi rumah sepi seperti biasa. Namun, mendapat informasi tentang alamat rumah orang tua Santi dan juga berita bahwa rumah itu akan dijual karena rentenir terus datang menagih.

Memutar balik motor dan menuju alamat orang tua Santi, di perkampungan tidak jauh dari perumahan. Dengan berpura-pura berhenti menelepon, aku mengawasi rumah berpagar besi rendah itu. Teras rupanya sedang direnovasi, seperti akan dibangun toko. Namun, teringat informasi dari Yanti beberapa hari lalu bahwa Santi akan membuka usaha Laundry dan air isi ulang, bisa jadi untuk itu. Hati rasanya memanas, bisa jadi itu adalah uangku yang dipakai. Rupanya ada tetangga yang mencurigai keberadaanku, perempuan setengah baya.

"Adik, mencari rumah siapa?"

"Ee itu rumah Santi, ya?"

"Nggih, tapi kerja."

"Itu mau bikin apa?" tanyaku sambil melirik teras yang tengah ada tukang.

"Katanya bosnya Santi mau bikin laundry, Jeng."

"Apa bosnya agak gemuk tapi ganteng?" Si ibu mengangguk, dan aku yakin Ardian sering datang ke sini.

"Itu suami saya, dan gak ada izin saya kerja sama sama penggoda suami orang macam Santi. Uang yang dipakai itu uang saya."

Ibu itu tercengang tapi kemudian tersenyum dan berkata, "Sudah jadi berita umum, Mbak. Sabar saja asal suami kembali."

Selalu saja hal yang sama yang kudengar, asal suami kembali harta bisa dicari. Mudah banget bicara, apa mereka bisa menerima kerja keras tapi yang menikmati orang lain. Allahummafirlana Ya Rabb, apa ini teguran dariMu bahwa ada hak orang lain di dalam hartaku. Namun, selama ini aku berusaha untuk memperbanyak sedekah di Panti Asuhan dan lembaga sosial, orang-orang sekitar tak luput dari haknya.

Karena tidak tahu harus melakukan apa, aku kembali pulang karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan.

Rumah sudah sepi, Mbah Umi pasti sudah pergi ke sekolah menjemput Jasmin dan Musa di TK. Aku mengendap ke kamar Ardian, rupanya nasib baik ada pada diri.
Pintu tidak dikunci dan dompetnya tertinggal di atas kasur. Segera membuka benda yang sangat susah aku sentuh selama ini, karena Ardian selalu menyembunyikan.

Tergesa membuka dompet berwarna coklat, agak tebal di bagian tepi. Karena curiga merogoh di bagian yang menggelembung, ada benda sebesar kelingking yang dibungkus plastik dan diisolasi. Saat menyentuhnya telapak tangan seakan tersengat listrik, hingga dada serasa sesak. Dengan segera aku membaca doa dari Pak Giman, akan ada sesuatu hal gelap jika dadaku sesak tanpa sebab.

Kembali telapak tangan memanas, lebih panas dari awal menyentuh. Mengulang doa hingga tujuh kali, sebelum bau wangi Kembang Gading menyeruak. Benda kecil itu aku masukkan ke saku celana, dan melanjutkan memeriksa isi dompet Ardian. Surat gadai mobil. Ternyata mobilku digadaikan sebesar tiga puluh juta.

Segera memutar otak untuk berpikir cepat, bagaimana agar bisa menebus kembali mobil tanpa aku harus keluar uang. Almari dikuncinya, tetapi bahan yang rapuh akan bisa dibuka paksa sedikit saja. Segera mengambil Mandau, atau parang khas Kalimantan. Mencongkel paksa pintu lemari tanpa harus merusak pintu. Seenaknya menggadaikan mobilku sedangkan dia masih memiliki BPKB motor besar yang aku juga yang membayar kreditnya dulu. Setelah mengambil BPKB tak lupa mengambil buku coklat yang berisi mantra-mantra, dan menutup pintu lemari. Sempurna, tidak ada nampak kerusakan yang membuat curiga habis dibuka paksa.

Namun, saat aku sedang menyimpan semua benda tersebut di kamar. Ardian datang dengan wajah yang penuh emosi, menyeretku masuk ke ruang kerja.

"Otakmu di mana?"

Aku hanya menatap tajam, siap melayani segala emosinya. Pasti tetangga Santi tadi telah menyebar gosip, dan itu yang aku tunggu.

"Kapan kamu berhenti mengusik Santi dan keluarganya ha?"

"Sampai dia balikin semua uangku!" seruku sambil mencebik.

"Ok aku bayar, tapi tunggu saatnya!"

"Kapan? Nunggu aku mati karena kiriman ilmu hitam kalian?!"

Pyaaarrr.

Cangkir hiasan di meja kerjaku berkeping menghantam dinding, hampir saja mengenai kepalaku andai saja tak menunduk. Ardian begitu murka, jelas kebusukannya takut kuketahui. Meskipun tubuh sedikit gemetar, aku tetap membalas tatapan matanya.

"Ikam semakin liar tak terkendali!" serunya dengan terus menunjuk jari tepat ke wajahku.

"Karena Pian juga tidak terkendali, berani menggadaikan mobilku."

"Ikam, gak terima?"

"Jelas, itu hasil kerja kerasku. Apa yang Pian bisa kasih ke aku selama menikah? Hanya anak hasil selingkuhan kan?!"

"Mau Ikam apa sekarang?"

"Pian sendiri mau apa?"

"Kita cerai, aku talak Ikam sekarang juga!"

"Bagus, aku terima dengan lapang dada. Kita ke PA sekarang, daftarkan perceraian!" sengitku sambil berdiri dan meraih tas.

Terlihat Ardian terkejut dengan reaksiku yang seakan bersemangat untuk bercerai. Mengunci kamar dan menghampirinya yang terpekur di ruang tamu, aku tahu Ardian tengah gelisah dengan ucapannya yang tanpa sadar telah jatuh talak dua untukku.

"Kita ketemu di PA!" ucapku seraya keluar halaman dan menaiki motor matic.

Pikiran sejenak kosong, tahu resiko yang tengah aku pikul. Surat nikah semua disimpan Ardian, jika aku melakukan gugatan cerai harus melampirkannya. Sengaja menunggu Ardian di gerbang perumahan, tetapi hingga tiga puluh menit tak kunjung keluar. Pengecut tetap pengecut! Makiku dalam hati, yakin jika Ardian tidak berani datang ke PA sesuai ucapanku.

Menghubungi Cahyo untuk meminta pertimbangan, serta Gus Ilham agar memantau apa yang telah aku ambil dari dompet Ardian tadi.

"Buang saja ke sungai yang mengalir dan baca doa yang saya ajarkan." Gus Ilham mengatakan jika itu adalah jimat pengasihan yang baru didapat Ardian dari seorang dukun. Pantas saja hawa panas seakan membakar telapak, rupanya jin berada di sana.

Tanpa perduli dengan Ardian, segera aku mengambil jimat dan membawanya ke perbatasan Surabaya Gresik yang terdapat sungai besar dengan air mengalir deras. Mampir ke PA sudah pukul tiga sore, diterima seorang staf yang mengatakan bahwa layanan kantor sudah tutup. Namun, tidak ada permohonan cerai atas nama Ardian ataupun aku. Berarti Ardian memang tidak berani datang ke PA.

Setengah tertawa aku menyusuri jalan yang tengah banjir yang hampir setengah roda, berulang kali dibodohi oleh manusia kardus bergelar suami. Kanan kiri jalan banyak motor mogok, tetapi entah dengan motor yang aku kendarai lancar saja berjalan hingga tanah lapang. Mampir sejenak di kantor Cahyo, sekedar menata hati untuk mendapat nasehat dari sahabat.

Perempuan KetujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang