Part 5

1K 58 0
                                    

Meskipun sedikit heran aku menurut saja untuk meminum air dari tumbler, ada rasa hangat mengalir dalam tenggorokan. Bukan dingin atau sejuk seperti saat minum air putih, apa sebenarnya yang ibu berikan untukku?

Setelah makan pagi niatnya ingin berkunjung ke Ummi Nur, sepupu bapak. Namun, badan yang semula segar menjadi lemas dan mengantuk. Ditambah udara sejuk kampung halaman, seakan meninabobokan tubuh yang mulai menurun berat badan.

Aku terbangun ketika mendengar suara gemericik air, mungkin di luar sedang hujan. Meraba-raba bawah bantal untuk mencari ponsel, tetapi mengapa menjadi sangat kasar kasur yang tadi berlapis seprai katun ini. Terduduk seketika setelah menyadari aku tidak berada di kamar, tetapi di sebuah padang rumput dengan sungai yang membelah. Aku mencubit pipi untuk menguji ini bukan halusinasi, sakit dicubit pertanda ini nyata. Lantas aku di mana, sedangkan gamis tetap sama seperti yang aku kenakan tadi.

Terbiasa bangun tidur lalu meminum air, aku pun seakan kehausan di tempat asing ini. Berjalan mengendap di antara rumput dan semak yang menghijau, mendekati sungai yang terlihat begitu jernih. Melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada binatang buas, atau hal yang membahayakan. Sewaktu sekolah senang camping dan mendaki gunung, jadi untuk minum air sungai sudah hal biasa. Dengan kedua telapak tangan aku mengambil air, dan meminumnya hingga perut serasa kenyang. Aku terkekeh sendiri melihat bajuku yang basah, setelah mencuci muka. Namun, ada hal aneh saat melihat bayangan di dalam air. Bukan wajahku.

"Aaahhh ...." Aku menjerit dan mundur karena terkejut ketika bayangan di dalam air itu mengulurkan tangan dan ingin mencekik.

Bruukk.

Tubuhku terjatuh dari ranjang, rupanya memang aku bermimpi. Namun, mengapa aku melihat diriku adalah orang lain dengan wajah yang penuh kebencian.

"Nduk?!" Pintu terbuka, ada Ibu dengan wajah panik dan bergegas menghampiri.

Dibantu Ibu aku mencoba duduk kembali di tepi ranjang, sedangkan Ibu mengulurkan air mineral. Tidak biasanya di rumah ini tersedia air dalam kemasan, kecuali galon yang di atas dispenser. Karena tidak ingin mengecewakan aku segera meminum, tetapi masih serasa hangat di tenggorokan.

"Kok glundung to, Nduk?" Ibu menatap masih dengan wajah yang panik, aku menggeleng.

"Aku kok ngimpi wajahku beda to, tadi setelah minum dan mencuci muka di sungai."

"Mimpine orang tidur pagi, wong jare mau sowan Ummi ko malah tidur?!" Ibu tersenyum seakan dipaksakan.

"Aneh ae, Bu. Badan seger trus lemes jadi bablas tidur, mimpi aneh lagi."

"Wes sholawat dan istighfar seng akeh, seger waras kalis soko sambikolo. Selama bapak ibu paring dungo, penyakit podo lungo."

"Aamiin." Sesaat aku tercenung memikirkan ucapan ibu, seakan tahu ada yang tidak beres dengan diri ini.

***

Kembali ke rumah Minggu sore, Ardian masih belum bisa aku hubungi. Apakah minggat karena takut besok aku menagih uang yang diambilnya, teringat tanggungan membuat kepala berdenyut dan emosi kembali hadir. Tidak hanya sekali ini Ardian menggunakan uangku tanpa izin, tetapi yang dahulu itu untuk kepentingan orang tuanya. Aku tidak marah bahkan memberi uang tambahan untuk mereka yang sedang kesusahan karena salah satu cucunya meninggal dalam kandungan.

Apa mungkin Ardian pulang ke rumah Abah dan Ummi? Kenapa tidak terpikirkan olehku sejak kemarin. Di sini Ardian tidak memiliki keluarga, semua luar kota dan yang terdekat hanya Abah Ummi.

"Kamu jangan sombong, mentang-mentang penghasilan sendiri tetapi durhaka dengan suami dan main gila dengan lelaki lain!" Ucapan Ummi bagai cambuk di telinga, Ardian telah memfitnah sedemikian rupa.

Perempuan KetujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang