PP-05

10.6K 409 9
                                    

*****

"Kopinya Tuan..." Ujar mbok Narti, meletakkan segelas kopi yang masih mengepul di meja kerja Rillian yang sejak tadi sudah sibuk dengan laptopnya. Padahal ini akhir pekan, tapi dia tetap bekerja.

Sementara di seberang ruangan Nadira mendengus. Well, apartemen itu memang tidak memiliki banyak sekat. Dari tempatnya, Nadira bisa melihat apa saja yang di lakukan Rillian saat ini.

"Makasih, mbok."

Mbok Narti undur diri, kembali ke dapur untuk mengurus makan siang guna dua tuannya.

"Apa kamu selalu seperti itu?" Celetuk Nadira saat Rillian mulai menyeruput kopi.

Pria itu mendongak. Meletakkan gelas kopi, "maksud kamu apa?" Tanyanya.

"Apa kamu selalu bekerja? Tidak ada piknik? Shoping? Atau apa lah gitu jangan bertingkah membosankan seperti Kakek tua," sungut Nadira dengan seenaknya.

Rillian melotot, "kalau kamu mau semua itu, pergi sana. Aku tidak pernah melarangmu, kan? Ingat, kita menikah cuma karena bisnis, tidak lebih." Tukasnya dingin.

Nadira cemberut, "lagian, siapa juga yang mau pergi kemanapun bersamamu, dasar pria batu!"

"Kamu menyebutku apa barusan?!" Rillian mulai panas. Dia sedang banyak pikiran karena perusahaan hampir bangkrut. Dan ini yang dia terima setelah berusaha mempertahankan harga saham agar tidak anjlok? Perusahaannya nyaris bangkrut karena siapa? Itu karena keluarga gadis di depannya ini! Segala perjodohan sialan itu! Media tahu jika Rillian menikah bukan dengan gadis yang selama ini santer dikabarkan dari keluarga Aurelie itu! Media mencapnya sebagai lelaki tidak konsisten dan itu berdampak pada perusahaan yang dia pimpin! Seharusnya Nadira bersyukur karena Rillian tidak marah juga padanya karena hal itu!

Rillian menghembuskan nafas kasar, "jangan mengajakku ribut sekarang, bisa kan?" Tanyanya dengan suara terkontrol.

Nadira mendelik, "siapa yang ngajak ribut? Awalnya aku kan tanya baik-baik!" Sahutnya tancap gas.

Rillian mengusap wajahnya dengan gusar. Inilah yang membuat dia tidak betah berlama-lama di apartemen. Nadira selalu bisa menaikkan tensi darahnya!

"Terserah kamu saja, Dira." Rillian membereskan pekerjaannya dan membawa semua itu ke kamar. Terbebas dari gangguan Nadira yang tidak penting.

Nadira duduk, menghembuskan nafas lelah, "kenapa sih? Lagian juga, kenapa dia salah paham? Siapa yang mau pergi-pergi bareng dia, heh? Memangnya aku gak bisa pergi sendiri? Gak punya uang sendiri? Dasar Rillian sialan," umpatnya panjang lebar.

Mbok Narti yang mendengarkan itu cuma bisa menggeleng lemah.

*****

Nadilla sedang menonton televisi dengan Dirly. Di luar hujan turun dengan derasnya. Masalah hunian bocor di sana-sini tidak membuat sejoli itu ambil pusing. Cukup sediakan bak atau ember, selesai.

"Dirly, kapan kita menikah?" Celetuk Dilla ketika mulai iklan. Dia menyandarkan kepalanya di dada Dirly.

Dirly mendesah, "aku masih seperti ini, kamu masih mau menikah denganku?" Bisiknya, memainkan rambut Dilla.

Dilla mengangguk, "aku tidak peduli dengan keadaan kamu. Aku itu tulus sama perasaanku," ujarnya.

Dirly tidak langsung menyahut. Masih asyik bermain dengan rambut sang pacar.

"Lagipula, aku juga tidak enak pada para tetangga...kalau mereka tahu kita bukan suami istri, kan bahaya..." Lanjut Dilla, dia selalu mendapat tatapan tidak menyenangkan dari warga di lingkungan tempat tinggalnya. Dia tidak tahan.

Tarikan nafas panjang.

"Maaf ya...aku usahain secepatnya kita nikah. Aku juga harus cari modal, kan?" Ujar Dirly.

Dilla duduk tegak, memandang lelaki yang dia cintai sejak sama-sama di bangku SMA itu dengan serius, "iya tapi kapan?" Tuntutnya.

Dirly tersenyum, mencubit kedua pipi Dilla dengan gemas, "sabar dong, sayang. Kamu kok kaya yang ngebet banget sih..." Godanya.

Dilla menggembungkan pipinya, membuat Dirly semakin tergelak, "uhhhh iya iya nanti ya. Makanya kamu doain biar aku dapat pekerjaan yang gajinya besar," guraunya.

Dilla mengangguk lemah, "aku selalu doain kamu kok."

Dirly tersenyum dan membawa Dilla kembali ke pelukannya, "kamu yang sabar. Nanti kita juga menikah."

"Aku cinta sama kamu, Dirly. Aku udah ninggalin semuanya demi kamu," kata Dilla.

"Aku tahu."

*****

Nadira sendirian saja di apartemen setelah Rillian pergi ke kantor. Mbok Narti juga sedang belanja dan melarangnya ikut. Katanya tidak mau Nadira kelelahan karena mbok Narti belanja ke pasar alih-alih supermarket. Wanita tua itu mengatakan jika Rillian sangat menyukai sayuran dari pasar karena masih segar. Nadira berdecih begitu mendengar alasan itu. Pria itu bahkan jarang makan, bagaimana bilang suka? Nadira nyaris saja menyebut suami di atas kertasnya itu sebagai pria pelit. Tapi sebutan itu harus dia tahan ketika mendengar total uang belanja yang di berikan pria itu pada mbok Narti setiap bulannya.

Untuk pria yang jarang makan masakan di rumah, pria itu kelewat royal memberikan uang.

"Tuan mau mendapat sayuran kualitas terbaik," ujar mbok Narti ketika Nadira membelalak begitu mendengar jumlah nominal fantastis itu.

"Mbok habiskan semua uang itu?" Dengap Nadira.

Mbok Narti tersenyum, "nggak lah, selebihnya mbok taro ke badan zakat atau sumbangkan ke yayasan-yayasan yang membutuhkan."

Nadira terdiam.

Mbok Narti menepuk lengan Nadira, tersenyum ramah, "tuan itu orang baik, dia nggak marah waktu tahu sebagian uang itu mbok sumbangkan."

Nadira memaksakan senyum. Ada rasa hangat menjalar di dadanya saat mengetahui itu.

Nadira menatap langit-langit kamar, "sebenarnya kamu itu orang seperti apa sih, Rillian?" Bisiknya.

Saat makan malam...

"Wah kelihatannya enak, mbok!" Seru Nadira, menggosok-gosokkan tangannya, menatap hidangan di atas meja dengan sorot mata lapar. Membuat wanita tua di depannya tersenyum.

"Ini cuma sayur bayam, Nya. Enak, adem."

Nadira mengangguk, menuangkan sayur itu ke mangkuk dan mulai makan. Rasa segar menjalari tubuhnya.

"Ini oreg tempe, Tuan suka sekali, lho Nya..." Selorohnya.

Nadira nyaris saja tersedak kuah sayur ketika mendengar informasi itu.

Seorang Rillian Xander Irawan menyukai oreg tempe?! Tak bisa di percaya!

Mbok Narti terkekeh melihat keterkejutan di mata Nadira, "jangan kaget gitu, Nya. Sebagai istri, nyonya mesti tahu apa saja yang di sukai tuan Rilian, kan?"

Nadira mendengus, "aku gak peduli, mbok."

Mbok Narti tersenyum maklum. Dia tahu jika dua majikannya menjalani pernikahan tanpa landasan cinta. Tapi wanita tua itu yakin, suatu hari nanti mereka akan saling mencintai...

"Apa Rillian tidak pulang?" Tanya Nadira sambil menatap pintu.

"Mungkin lagi di jalan, Nya. Kenapa gak coba di telpon saja, Nya?" Sahut mbok Narti. Dia menatap hidangan di meja makan yang masih utuh. Nadira tidak makan, cuma makan sayur bayam satu mangkok tadi.

Nadira menggigit bibir, ini sudah jam delapan malam. Memang biasanya Rillian tidak pulang. Tapi beberapa malam ini, pria itu pulang kok...

Apa malam ini dia tidak pulang, ya...? Nadira membatin. Gadis itu tidak tahu jika sedari tadi sepasang mata tua mengawasinya dengan senyuman.

*****

TBC

10122019
Sepiiiiiiiiiiiiiii.........
Vomentnya jangan lupa ya 😘😘😘

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang