PP-07

9.7K 351 4
                                    

*****

'Plak'.

Suara dua kulit beradu, berbunyi sangat nyaring. Antara telapak tangan dan pipi.

Rillian mundur. Memandang Nadira dengan nanar, "apa yang kamu lakukan?" Bisiknya tajam.

Nafas Nadira terengah-engah, menahan amarah karena pria di hadapannya ini. Dia bahkan merasa, sebuah tamparan masih kurang cukup setimpal untuk membalas apa yang sudah di perbuat pria itu padanya.

Berani-beraninya dia...!!!

Wajah Nadira begitu merah padam, "seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu," desisnya.

Rillian mundur, "bukankah kamu mempertanyakan apakah aku sudah menjadi suami yang baik atau belum? Aku akan memperbaikinya."

Nadira mengusap bibirnya sambil menatap Rillian penuh dendam, "dengan menciumku?"

Rillian menyeringai, "mau lebih? Aku tidak keberatan," ujarnya.

"Sinting."

"Aku suamimu. Bukankah wajar jika kita melakukan hal yang lebih?"

Nadira mendengus, "bukankah kamu sepakat bahwa kita tidak akan--"

"Lupakan saja," sela Rillian, dia meninggalkan Nadira begitu saja.

Nadira menganga, "sialan, kau, Rillian!" Gerungnya.

Rillian cuma diam dan terus melangkah menuju kamar.

"Baik! Lakukan apapun maumu! Tapi awas kalau kamu ulangi perbuatan tadi! Aku akan lapor polisi atas tuduhan pelecehan!" Teriak Nadira, berharap Rillian mendengar ancamannya yang tidak main-main. Dia janji akan melaporkan tindakan pria itu jika terulang lagi. Lihat saja! Nadira tidak akan tinggal diam.

Sementara itu, Rillian merebahkan diri di ranjangnya, menghela nafas panjang, "sebenarnya apa sih yang aku lakukan? Konyol," gumamnya. Tanpa sadar telunjuknya menyentuh bibir bagian bawah yang masih terasa aneh. "Aneh," gumamnya lagi.

Nadira masuk ke kamarnya dengan langkah-langkah kesal, menggerutu dan mengumpati Rillian yang tidak tahu diri itu.

"Dasar pria bajingan!" Sinisnya, Nadira merebahkan diri. Menatap langit-langit, dia merenung, "padahal aku ingin firstkiss ku dengan orang yang aku cintai kelak. Dasar pria sialan, kau Rillian!" Marahnya, mengusap bibirnya dengan kasar, berharap dapat menghapus jejak Rillian di sana. "Menjijikan."

Keesokan harinya, mbok Narti melayani kedua majikannya dengan canggung. Biasanya wanita tua itu akan meladeni segala ocehan Nadira. Tapi saat ini, gadis itu cuma bisa cemberut dan sesekali menatap Rillian dengan sorot benci. Sementara yang di tatap malah santai menikmati roti panggangnya, seolah tidak ada tatapan tajam yang di tujukan untuknya.

"Aku pergi," ucap Rillian dengan nada datar. Dia bahkan tidak memandang Nadira, "tidak perlu menungguku pulang untuk makan malam," tapi jelas kalimat itu di tujukan untuk Nadira.

"Tidak ada yang menunggumu juga. Aku mana sudi," sahut Nadira sinis.

Rillian melenggang pergi.

Mbok Narti tersenyum tertahan mendengar jawaban Nadira. Padahal beberapa malam lalu, baik dia maupun Rillian menemukan Nadira ketiduran di meja makan dengan makanan yang masih utuh.

Melihat pasangan itu, membuat mbok Narti gemas sendiri. Dia juga menikah karena di jodohkan, tapi tidak separah kedua majikannya. Memang awalnya dia dan sang suami tidak saling bicara, masih canggung, tapi mereka tetap melakukan kewajiban masing-masing. Sang suami pergi ke sawah, sementara mbok Narti mengurus rumah.

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang