Episode 55**
Kejadian sebelum Harry masuk rumah sakit ---
**
Harry sedang duduk dikursi kebesarannya sambil membolak-balik proposal yang diajukan anak perusahan rekan bisnisnya. Kening Harry berkerut dalam mempelajari semuanya. Dia berencana akan merapatkan ini pada semua pemegang saham. Apakah proposal ini disetujui atau tidak. Belum sempat Harry berpikir lebih jauh, pintu ruangannya terketuk.
Pria paruh baya itu menutup berkas dan berseru, "masuk!"
"Maaf pak, ada tamu mau bertemu anda." Kata Syifa, sekretaris Harry yang baru. Gadis 30 tahun itu mengangguk.
"Apa saya sudah ada janji dengannya?" Tanya Harry.
Syifa menggeleng, "dia memaksa bertemu bapak."
"Siapa namanya?"
"Pak Rahmat, Pak!"
Harry terperanjat, tapi dia langsung menguasai diri. Setiap kali mendengar nama itu, dia selalu bereaksi begini. Padahal, nama Rahmat sangat generic sekali.
"Pak Rahmat dari mana ya?" Gumam Harry.
Syifa memperhatikan bosnya itu dalam diam. Belum pernah dia melihat Harry yang bersikap begini.
"Bagaimana, pak? Apa bapak bersedia menemui pak Rahmat?" Tanya Syifa yang langsung menyentak Harry dari trans sesaatnya.
"Ah, iya ya! Suruh dia masuk, Syifa. Dan kalau ada jadwal lagi, tolong resechdule, ya."
"Iya, pak!" Syifa keluar dan beberapa saat kemudian kembali masuk bersama seorang pria tua.
Harry pucat. Tidak menyangka akan bertemu hari ini. Meski begitu, dia memaksakan sebuah senyum. Dia memandang Syifa, menyuruh gadis itu keluar.
"Silahkan duduk, pak Rahmat." Ujar Harry mengajak tamunya duduk disofa alih-alih depan meja kerjanya.
Pak Rahmat mengangguk, duduk disofa panjang dengan gerak tubuh yang kentara sekali sedang gelisah.
"Sudah lama kita tidak bertemu, pak. Bapak apa kabar?" Tanya pak Rahmat basa-basi.
Belum sempat Harry menjawab, Syifa kembali masuk membawa dua gelas kopi. Harry cuma memperhatikan gadis itu sampai dia menghilang dibalik pintu. Barulah dia kembali mencurahkan perhatiannya pada pak Rahmat.
"Maaf, sampai mana pembicaraan kita tadi, pak?" Tanya Harry.
Pak Rahmat tersenyum, "sebenarnya belum ada pembicaraan."
Harry mengangguk, mengusap keringat dingin yang mulai menetes. Dia sangat gugup.
"Jadi, ada urusan apa bapak sampai repot-repot datang kesini?" Tanya Harry.
"Ini tentang kejadian itu..."
Harry mengangguk cepat. Memang cuma itu urusan yang mereka punya.
"Beberapa waktu lalu, anak itu menemui saya, pak." Ujar pak Rahmat pelan.
Harry terperanjat. "Dirly?" Dia memastikan.
Pak Rahmat mengangguk, "dia memang mengaku bernama Dirly."
"Bagaimana dia bisa tahu?" Bisik Harry tidak habis pikir.
"Ehm... Pak, maaf. Apa tidak masalah? Saya tidak mau terseret dalam masalah ini."
"Masalah apa maksudmu?!" Bentak Harry.
"Anda tahu apa yang saya maksud, pak! Semua salah bapak! Bapak yang sudah membu--"
"Jangan sembarangan kamu!" Sela Harry. Dia menatap ke arah pintu, takut sewaktu-waktu ada yang menerobos masuk. Dia lupa berpesan pada Syifa untuk melarang siapapun yang mau menemuinya saat ini.
Harry menarik nafas panjang, "ingat pak! Anda sudah mendapatkan imbalan. Artinya, anda harus tutup mulut dan bawalah rahasia ini sampai liang kubur kalau perlu!" Desisnya.
Pak Rahmat menggeleng tidak habis pikir. Apa pria didepannya ini tidak memiliki perasaan bersalah sedikitpun karena mengakibatkan seorang anak menjadi yatim-piatu di usia muda?
"Anda harus janji, pak!" Desak Harry.
"Tapi, saya takut, pak. Dirly selalu datang dan menanyakan pertanyaan yang sama di setiap kunjungannya!" Pak Rahmat frustasi.
Harry menggeleng, "saya tidak mau tahu. Saya sudah bayar anda. Jadi, anda tinggal diam dan jadi orang bodoh didepannya! Biarkan anak itu melakukan apapun yang dia mau. Dia sangat merepotkan!"
"Jadi anda selama ini sering bertemu dengannya, kalau begitu?" Selidik pak Rahmat.
"Bocah begundal itu membuat putriku kabur dari rumah!" Desis Harry.
"Ahh..." Entah kenapa, pak Rahmat malah senang mendengar kabar itu.
Harry melirik arlojinya, "maaf pak, lima belas menit lagi saya harus meeting."
Usiran tersirat dari Harry untuk tamunya.
Pak Rahmat mengangguk, dia tersenyum sinis sekarang. "Jangan salahkan saya kalau suatu saat nanti bocah begundal itu mencari anda, pak." Ujarnya, membuat Harry kesal.
Pak Rahmat langsung pergi. Selepas pria tua itu pergi, Harry yang merasa tekanan darahnya sangat tinggi, cuma bisa memegangi dada. Mendadak dia merasa sesak nafas dan dadanya sakit sekali.
Setelah itu semuanya gelap.
**
"Jadi Evan, bagaimana pertanyaanku tadi?" Tanya Rillian karena sejak tadi Evan malah mendadak gagap.
"Kebetulan tadi aku yang antar Nadila." Jawab Evan.
Alis Rillian menukik mendengarnya, "really? Bagaimana bisa?"
Evan memutar matanya, "biasalah. Pertemuan klasik tidak sengaja. Detailnya, aku tidak berminat berbagi denganmu." Sungutnya.
"Tch! Bocah ini!"
Sebelum Rillian menggeplak kepalanya, Evan sudah melarikan diri sambil terkekeh-kekeh.
Rillian memutuskan untuk kembali ke tempat dimana dia meninggalkan Nadira dan keluarganya. Sampai disana, dia cuma bisa melihat Nadila dan Tasya.
"Administrasi sudah aku urus." Ujarnya yang membuat Nadira mendelik. Pria itu menatap istrinya dengan raut bingung.
Nadira cuma bisa mendesah. Bukan ocehan semacam itu sebenarnya yang ingin dia dengar. Tapi, dia sadar siapa yang menjadi suaminya. Pria paling tidak peka dibumi. Jadi, wajar saja.
Nadira kembali memeluk Tasya, "semua akan baik-baik saja, Ma."
Tasya mengangguk, dia menatap Rillian dengan matanya yang sembab. "Terimakasih ya Rillian, kamu sudah repot ngurus administrasi."
Nadira sontak membelalak. Tidak menyangka apa yang diucapkan ibunya.
Rillian tersenyum manis, "sama-sama, Ma. Oh gimana kondisi papa?"
Nadira menatapnya lagi. Akhirnya kau mengatakan sesuatu yang berguna, pikirnya.
"Alhamdulillah papa sudah sadar. Nadila sedang bersamanya. Setelah ini papa akan dipindah ke ruang perawatan." Kata Nadira.
Rillian mengangguk, "syukurlah. Semua akan baik-baik saja setelah ini."
"Yeah. Semoga." Bisik Tasya.
***
TBC
Maaf ya, gak bisa panjang-panjang. Lagi mencoba menulis lagi dan emang gak mudah rupanya 😌
Maaf cerita gaje ini terabaikan teramat lama.
Maaf ya 🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Pengganti
RomanceBercerita tentang saudari kembar. Nadilla Aurelie dan Nadira Aurelie, tumbuh kembang bersama tanpa kurang suatu apapun. Nadira atau Dira, sangat sayang pada kakaknya, Nadilla, meskipun usia mereka terpaut beberapa menit saja. Dia terbiasa mencintai...