PP-14

8K 286 7
                                    

*****

Acaranya lebih singkat dari yang di duga Nadira. Oh tidak. Sebenarnya semua ini karena Rillian seenaknya saja membawa Nadira pulang dengan paksa ketika dia mengobrol riang dengan salah satu putra rekan bisnis papanya. Nadira tidak mengerti kenapa Rillian bisa menjadi lebih menyebalkan dari yang sudah-sudah. Bahkan sepanjang perjalanan pulang, pria itu tetap membisu. Mengemudi dalam diam dan ekspresi tak bersahabat. Nadira tidak masalah. Toh hubungan mereka tidak semesra seperti yang mereka pamerkan ketika di pesta.

"Masuk kamar," titah Rillian begitu mereka masuk apartemen.

"Aku lapar. Aku mau makan dulu. Salahmu kenapa kamu membawaku pergi begitu saja sebelum aku sempat memakan sesuatu di sana," sungut Nadira, melenggang santai ke meja makan dan tersenyum begitu melihat hidangan di atasnya. Mbok Narti memang terbaik.

Nadira mulai makan.

Rillian berdiri di depannya dengan sorot mata tajam, "aku bilang masuk kamar!"

Nadira mendongak dengan mulut penuh, "kamu tidak lihat?! Aku lagi makan!" Sentak Nadira. Tersedak dan buru-buru minum. Dia mendelik galak pada suaminya, "kenapa sih tingkahmu makin menyebalkan begini, heh?" Tuntutnya.

Rillian mengacak rambutnya dengan gusar, dia tidak mengerti kenapa mendadak kesal sekali. Terlebih ketika melihat Nadira bercanda akrab bahkan tertawa bersama dengan pria sialan entah siapa namanya di pesta tadi! Rasanya Rillian ingin sekali memberi pria itu satu dua pukulan saja karena sudah berani mengusap bahu telanjang Nadira!

Nadira Aurelie itu istrinya!

"Arrghhhh...!! Cepat selesaikan makannya dan masuk kamar. Ganti bajumu!" Sengat Rillian sebelum meninggalkan ruangan.

Nadira menggeleng penuh cemooh, "dasar manusia aneh! Siapa juga yang mau pake baju menjijikan ini lama-lama? Ini karena aku merasa akan mati saking laparnya!" Teriaknya, berharap Rillian mendengar.

Mbok Narti yang sejak tadi mendengarkan perdebatan dua majikannya dari ruang sebelah itu cuma menggeleng lemah. Dia tidak mengerti, kenapa dua orang itu selalu saja menemukan bahan untuk bertengkar. Apa mereka tidak akan pernah kehabisan stok?

Nadira selesai makan dan melenggang pergi ke kamar.

"Ah, gaun menjijikan." Sinisnya ketika berusaha melepas gaun merah itu, namun senyum perlahan timbul di wajah cantiknya, "tapi paling tidak Gian bilang aku cantik," bisiknya, Dira merasakan pipinya menghangat mengingat pembicaraan tadi dengan pria itu. "Ah, kenapa aku memikirkan cowok itu, coba? Sudahlah. Aku ngantuk dan mau tidur!"

Nadira merebahkan diri di ranjang, masih dengan senyuman lebar tercetak jelas di wajahnya.

"Gian itu ganteng ya..." Kemudian Nadira menggeleng kencang, memukuli kepalanya, "aduh, jangan mikirin itu!" Sungutnya jengkel.

*****

Nadilla tersenyum haru memandang kotak beludru yang di ulurkan Dirly.

"Menikah denganku," ajak pria itu. Ajakan yang selama ini Dilla impikan.

Nadilla mengangguk dengan mata berkaca-kaca, dia mengulurkan tangan kirinya, "aku mau, Dirly. Aku sangat mencintaimu," bisik Dilla.

Dirly tersenyum dan memasang cincin putih yang baru dia beli ke jari manis Dilla.

Dilla menatap cincin yang sudah terpasang itu dengan haru, "aku tidak tahu...ini pasti mahal banget..." Katanya.

Dirly tersenyum, "sangat cocok untukmu. Aku tidak masalah semahal apa, karena kamu adalah hal paling berharga untukku, Dilla."

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang