PP-48

8K 300 15
                                    

*****

Nadira membekap mulutnya dengan kedua tangan, sementara Rillian berjalan mendekat. Masih dengan senyum langka yang mengambang.

"Bagaimana?" Bisik Rillian, setelah pria itu sampai di depan Nadira.

Nadira mengerjap, berusaha mengontrol denyut jantungnya. Walau dia tahu itu tidak mudah. "Bagaimana apanya?" Cicit gadis itu.

Rillian menelengkan kepala, masih ada jejak rasa geli sekaligus gugup pada wajahnya. Yang dengan cerdik dia sembunyikan.

Semua ini berkat seorang teman. Oke, Rillian akan mengajak kalian semua mundur ke belakang, di mana dia akhirnya mau mengakui perasaannya yang langka. Mengakui adanya cinta yang beberapa tahun ini tidak dia percaya.

Semua ini karena... Evan. Atau lebih tepatnya, sahabat menyebalkan Rillian itu.

Hari di mana Nadira dan Nadilla pergi bersama pria menyebalkan itu --Gian--, diam-diam Evan datang ke unit dan malah memanas-manasi Rillian dengan kalimat-kalimat andalannya.

"Ayolah teman, mau sampai kapan kamu bersikap denial begini? Apa kamu mau menunggu sampai Nadira di ambil pria itu baru mau ngaku? Haish, itu namanya keterlambatan," ujar Evan dengan seringai kemenangan.

Sementara Rillian sibuk mondar-mandir sejak tadi. Gusar dan tidak tenang. Harus dia akui, perkataan Evan sangat berpengaruh untuknya saat ini.

"Kalau kamu tidak segera bergerak, percayalah, kamu akan menyesal dan saat itu aku sudah tidak mau peduli padamu, sobat." Ujar Evan lagi.

Rillian berhenti mondar-mandir dan menatap pria yang tengah duduk santai di sofanya itu.

"Maksud kamu apa?" Bisik Rillian setengah mengancam.

"Ck! Kamu pria yang paling tidak peka yang pernah aku kenal, Rillian."

Rillian mengacak-acak rambutnya dengan gusar. Lagi, dia sangat ingin membantah semua ucapan Evan. Tapi dia tidak bisa. Tenggorokannya tercekat.

"Ayolah, kalau kamu mengakui, aku akan bantu sebisanya agar Nadira juga menyukaimu, bagaimana?"

Rillian duduk, menghela nafas panjang, "kamu pikir aku...menyukai dia?" Bisiknya mulai ragu.

Evan menggeleng sambil nyengir.

Rillian jengkel. "Kalau begitu kenapa kamu selalu memaksa agar aku mengaku, sialan?" Desisnya.

Evan tergelak, "kamu tidak menyukai gadis itu, kawan. Kamu mencintai dia," katanya.

Rillian diam. Baginya cinta itu omong kosong. Di dunia ini tidak ada yang bisa di percaya. Semuanya munafik. Tapi...tapi...

"Jadi, masih tidak mau jujur? Baik. Jangan mengadu padaku jika Nadira pergi dengan pria lain," cetus Evan, dia berdiri, menatap Rillian dengan sorot prihatin yang membuat Rillian sebal.

"Pergi sana," sinis Rillian jengkel.

Evan mengangkat bahu, "terserah saja." Dan yeah, pria itu pergi.

Setelah kepergian Evan, banyak hal yang Rillian pikirkan. Apalagi ketika Nadira pulang sendirian. Pikirannya penuh. Apa saja yang sudah dia lalui dengan pria sialan --Gian-- itu selama ini? Apakah mereka sangat dekat? Sial, Rillian tidak suka. Jadi, ketika dia masuk kamar, dia langsung menelpon Evan dan cuma mengatakan...

"Baiklah, aku terima tawaranmu. Bantu aku."

Begitu. Maka di mulailah semua rencana ini.

Kembali ke masa kini...

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang