*****
Rillian mondar-mandir di dalam ruangannya. Berpikir. Karena dia yang memenangkan mega proyek beberapa waktu lalu. Kali ini dia harus segera mengerjakan si proyek. Sialnya, dia harus pergi ke Dubai dalam waktu dekat. Dan yang membuat ini semakin menyebalkan bagi Rillian adalah, karena biasanya dia tidak pernah keberatan pergi ke manapun, sekalipun ke ujung bumi dia akan datangi. Tapi kali ini, entah kenapa dia justru merasa was-was dan enggan. Seperti ada yang menahannya agar jangan pergi.
Tapi ini konyol. Karena proyek inilah yang dia impikan selama berbulan-bulan.
Sebenarnya ada apa denganku?!
Suara deringan ponsel membuat Rillian tersentak dan mengumpat sebelum menjawab panggilan yang ternyata dari Attar Irawan, ayahnya sendiri.
"Ada apa?" Sapa Rillian to the point.
"Papa dengar kamu akan berangkat akhir minggu ini. Bagaimana?"
Rillian mengernyit, "aku tidak mengerti apa maksud Papa. Bagaimana apanya?"
Attar mendesah jengkel, "apa kamu akan membawa serta istrimu atau tidak? Mungkin sekalian bulan madu?"
Rillian memutar matanya, "jangan konyol deh," tukasnya, meskipun dia sadar, jika ada sebagian dari dirinya tengah mempertimbangkan itu. Mungkin inilah yang membuatnya merasa berat untuk pergi. Karena Nadira. Tapi, hei!! Gadis itu bukan siapa-siapa bagi Rillian. Cuma istri di atas kertas.
Attar terkekeh di seberang sana, dia sangat mengenal putra tunggalnya itu, "Papa cuma bertanya. Yasudah, kamu hati-hati di tempat jauh sana, jangan lupa terus kabari mamamu, dia akan strees kalau tidak mendengar kabar darimu selama sehari saja."
"Baiklah."
Telpon di putus secara sepihak oleh Rillian. Dia memang paling malas jika topik pembicaraan sudah lari ke hal-hal melankolis.
Rillian menatap arlojinya dengan cukup lama. Sudah pukul empat sore. Biasanya dia sudah bersiap akan pulang. Tapi kali ini, dia seperti tidak memiliki tenaga sedikitpun untuk mengemudi. Baiklah, Rillian akan istirahat sebentar lagi sebelum pulang, sekalian mengecek dokumen-dokumen yang akan dia bawa ke Dubai beberapa hari lagi...
Sementara itu di apartemen, Nadira tengah menemani Mbok Narti masak di dapur. Meskipun wanita tua itu sudah melarangnya, tapi Nadira tidak peduli. Dia sudah sangat bosan selama ini nyaris tidak melakukan apa-apa kecuali duduk, baca buku atau menonton televisi dengan tayangan membosankan. Oh, dan tentu saja bertengkar dengan Rillian. Kegiatan rutin itu nyaris membunuhnya.
"Ini sepertinya kurang asin," celetuk Nadira ketika dia mencicipi soup iga dengan kuah bergolak.
Mbok Narti menambahkan sesendok garam. Nadira mengaduk sayur itu diiringi senyum tidak jelas. Sebenarnya perasaannya sedang sangat ringan. Akhir minggu ini kakaknya akan menikah. Dia juga sudah di beritahu di mana lokasi pernikahan itu. Tentu saja Nadira sudah menyiapkan kado luar biasa untuk kakaknya tercinta. Malah, dia sangat bahagia. Lebih bahagia menyambut pernikahan kakaknya ketimbang pernikahannya waktu itu.
Tentu saja, pikir Nadira muak, siapa yang akan bahagia saat dia akan menikah dengan orang semacam Rillian itu? Dia bersungut-sungut dalam hati. Nadira menggeleng, memikirkan Rillian, membuat moodnya kembali berantakan saja.
Sementara Mbok Narti yang memperhatikan senyuman itu malah salah paham. Berpikir jika gadis di sampingnya sedang bahagia karena menyiapkan makan malam untuk Rillian. Narti berpikir jika Nadira sudah mulai menyukai tuannya itu. Memang siapa yang tidak akan suka? Rillian adalah pria yang sangat baik, penyabar yeah meskipun senang sekali berkata tajam. Tapi yang jelas, pria itu bukan seorang penjahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Pengganti
RomanceBercerita tentang saudari kembar. Nadilla Aurelie dan Nadira Aurelie, tumbuh kembang bersama tanpa kurang suatu apapun. Nadira atau Dira, sangat sayang pada kakaknya, Nadilla, meskipun usia mereka terpaut beberapa menit saja. Dia terbiasa mencintai...