PP-40

7K 246 5
                                    

*****

Di apartemen Rillian, semua penghuni di sana tengah makan malam. Nadira dan Nadilla berbincang cukup berisik, membahas hal-hal yang mereka lalui selama ini. Sementara Rillian cuma bisa mendengarkan karena dia tidak tahu apa-apa. Pria itu perhatikan, paling tidak, Nadilla sudah menjadi dirinya sendiri. Entahlah. Mungkin tidak.

"Mau ayam?" Tanya Nadilla ketika Rillian akan meraih potongan daging ayam yang berada di depan Nadilla. Pria itu tersenyum dan mengangguk. "Aku ambilin," kata Nadilla, meletakkan satu potong ayam goreng di piring Rillian.

"Thanks," ujar Rillian.

Nadilla cuma tersenyum, "ada lagi?"

Rillian menggeleng, "sepertinya tidak."

Sementara Nadira terdiam melihat interaksi keduanya. Ada rasa tidak suka yang bersarang ketika kakaknya memperhatikan Rillian seperti tadi. Tapi cepat-cepat dia mengenyahkan pikiran negatif itu. Apa urusannya jika Nadilla perhatian?

"Oh, Kakak rencananya mau ke tempat salah satu temen besok, mau tanya prospek pekerjaan," ujar Nadilla.

Nadira tergagap, tersentak dari lamunan absurdnya dan menatap Nadilla dengan kening berkerut, "aku pikir Kakak sudah mau pulang ke rumah," katanya.

Nadilla tersenyum masam, "kamu kan tahu, untuk pulang Kakak mesti menyiapkan mental dulu."

Nadira mengulum senyum. Kemarin lusa, dia mendapat telepon dari sang Mama. Dia tidak tahu dari mana mamanya mendengar kabar itu. Bahwa saat ini Nadilla tinggal dengannya dan Rillian. Entahlah, mungkin ada salah satu kenalan Mama yang melihat. Tapi, Nadira tidak memiliki prasangka lain. Karena tidak mungkin Rillian yang bercerita.

"Kalau Kakak belum siap dan takut, aku bakal anter," Nadira menawarkan diri.

Nadilla tersenyum, "terimakasih."

"Tentu saja. Apa sih yang nggak buat Kakak, iya, kan?"

Rillian berdiri dengan gerakan mendadak, "sepertinya aku sudah kenyang. Kalian lanjutkan saja makannya."

"Yakin?" Tanya Nadilla.

"Iya, perutku sudah penuh," jawab Rillian dan melenggang pergi dari ruangan.

Nadira menatap Nadilla dengan intens. Membuat Nadilla nyengir.

"Kenapa?"

Nadira menggeleng kencang, "nggak apa-apa kok." Katanya.

"Yasudah, kita lanjut makan. Jangan keasikan ngobrol."

Nadira mengangguk setuju. Tapi tetap saja, otaknya sibuk sendiri. Sejak Nadilla tinggal bersama mereka, kakaknya itu seperti sangat perhatian pada Rillian. Dan yang lebih menyebalkan lagi, Nadira tidak suka dengan semua bentuk perhatian itu!

Nadira cemburu? Mungkin saja, dia tidak tahu!

*****

Gian melotot marah pada Tiara yang berdiri di depannya, "sekarang apa lagi?!" Sambarnya panas.

Tiara terengah-engah seperti baru saja berlari ratusan meter, masih mendelik pada pria bernama Gian Wijaya itu.

"Aku kesal! Kapan kamu mau membantuku mendapatkan Dirly?!"

Gian berdecak. Dia sebenarnya tidak mau membantu. Untuk apa?! Dirly sudah menikah dan mencintai istrinya. Lalu untuk apa Tiara masih mengharapkan pria itu?!

"Bukankah kamu yang berkeras mau berusaha sendiri, hm?"

Tiara berjalan mondar-mandir. Dia sudah mengajak Dirly ke rumahnya dan bertemu dengan kedua orangtuanya di sana. Tapi harapannya hancur karena sang ayah mengatakan hal-hal tidak masuk akal pada pria itu! Padahal ayahnya tahu jika Tiara sedang mencoba mendapatkan Dirly kembali. Segala omong kosong tentang skandal. Siapa yang peduli itu?! Sebentar lagi, Tiara yakin bahwa Dirly akan bercerai dengan istrinya yang sialan itu.

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang