PP-32

6.9K 250 22
                                    

*****

Dirly melangkah gontai. Dia baru saja mendengar cerita bagaimana orangtuanya meninggal. Meskipun masih banyak yang belum dia mengerti. Di tambah pak Rahmat juga masih saja tidak mau memberikan identitas si pelaku tabrak lari itu. Tapi Dirly akan mencoba untuk lebih bersabar lagi. Dia tidak akan menyerah begitu saja setelah fakta ada di depan mata. Semuanya akan menjadi jelas asalkan dia tetap sabar dan berusaha. Dia berharap Tuhan mau membantunya.

Sampai di depan kontrakan, dia bertemu dengan Dilla yang kelihatannya bersiap akan pergi.

"Mau ke mana?" Tanya Dirly.

Dilla menatapnya diam. Perdebatan mereka selalu menjadi pemicu aksinya itu. Dilla cuma kesal karena Dirly seolah tidak percaya padanya dan masih saja menyimpan rahasia.

"...Dilla?" Panggil Dirly.

Dilla menghela nafas, dia memang tidak pernah bisa marah terlalu lama pada suaminya itu. Sambil mengusap perutnya dengan gerakan samar, Dilla menjawab, "aku mau bertemu Dira."

Dirly mengangguk, "perlu aku antar?"

Dilla menggeleng, "nggak usah. Aku bisa sendiri."

Dirly sadar jika Dilla masih marah padanya. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Yasudah, hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa cepat hubungi aku, hm?"

Dilla mengangguk, "aku pergi."

Dirly menunggu sampai Dilla menghilang dari pandangannya sebelum masuk kontrakan. Dia sedang tidak ada proyek, makanya dia memiliki waktu yang sangat banyak namun juga pusing karena harus mencari uang untuk kebutuhan hidup mereka.

"Aku...lelah."

Perlahan Dirly menutup mata dan terlelap ke alam mimpi.

*****

Nadira kelimpungan. Kenapa dia bisa sampai lupa bahwa hari minggu ini dia sudah ada janji terlebih dulu dengan Gian? Sekarang apa? Nadilla baru saja menelpon dan mengatakan dia sudah sampai di warung bakso langganan mereka!

"Kenapa aku bisa begini? Sial, semua gara-gara Rillian sialan itu makanya jadwalku kacau." Gadis itu malah seenaknya menyalahkan Rillian.

"Mau kemana?"

Pertanyaan dari orang yang membuat Nadira sebal membuatnya mendengus, "aku kan sudah bilang kalau aku..." Kata-katanya terhenti karena suara ponsel. Nadira mengambil benda persegi itu dan memekik, "... aduh! Maaf, Gian! Aku batal pergi, aku...ada janji lain, maaf ya..."

Rillian mendengus mendengar nada bicara Nadira berubah drastis begitu di telpon.

"Nope, gue gak masalah. Sans aja, oke?" (Gian)

Nadira mendesah sambil memakai flatshoes hitamnya, "berjuta terimakasih, sampaikan maafku untuk Tiara."

"Iya, santai. Oh, by the way, Lo mau pergi bareng siapa?" (Gian)

"Ada lah," kata Nadira sambil melirik Rillian yang masih memberikan tatapan tajam.

Siapa lagi orang yang mau dia temui? Pikir Rillian jengkel.

"Oke, aku tutup dulu."

Nadira menutup telepon dan menatap Rillian dengan sebal, "aku pergi dan gak janji bisa makan malam di rumah," tukasnya.

Rillian cuma mengepalkan kedua tangannya sampai Nadira keluar dari apartemen mereka.

"Sial, sial, sial!" Maki Rillian, dia berbalik dan kembali masuk kamar, "sampai kapan sih bakal terus begini? Apa dia gak mau berubah? Menyebalkan!"

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang