PP-42

6.6K 257 5
                                    

*****

Nadira sudah selesai berkutat di depan cermin. Meyakinkan diri sendiri jika penampilannya sudah sempurna. Dengan jins skiny dan blus warna maroon. Dia tersenyum pada pantulan bayangannya di cermin ketika menyemprotkan parfum andalannya selama ini.

"Perfect," bisiknya puas. Nadira melirik jam di dinding. Masih pukul sebelas siang. Tapi dia harus segera berangkat karena tidak mau terjebak macet. Ini memang bukan weekend, tapi tetap saja kan? Namanya ibu kota, pasti saja macet.

"Cie cie yang mau kencan. Kakak nggak di ajak, nih?" Seloroh Nadilla ketika masuk kamar sambil membawa segelas air putih.

Wajah Nadira kontan memerah, "kalau Kakak mau ikut aku nggak kebera--"

Nadilla tertawa keras dan menepuk-nepuk bahu adiknya, "nggak, Kakak kan gak mau ganggu kalian," ujarnya jail.

Wajah Nadira semakin merah, "Kakak apaan sih?"

"Sudah sana pergi, lagian Kakak juga mulai bekerja hari ini," ujar Nadilla.

Nadira menatapnya. Dia tidak habis pikir. Untuk apa kakaknya bekerja? Seperti kekurangan uang saja. Tapi jika hal itu bisa mengalihkan kesedihan kakaknya, dia bisa apa?

"Kalau begitu goodluck, Kak."

Nadilla mengangguk, "buatmu juga. Udah sana, nanti terlambat," dia mendorong Nadira keluar kamar.

Nadira menarik nafas panjang dan mulai melangkah. Pamit seadanya pada Narti yang sedang membersihkan perabot di ruang tengah.

"Astaga, kenapa aku makin gugup gini, ya? Hell, rilex, Dira. Ini cuma jalan biasa bareng Rillian. Bukan hal penting," Nadira mengoceh sendiri, mencoba menenangkan kegugupannya.

Sampai di depan, Nadira di kagetkan dengan sebuah mobil yang tiba-tiba berhenti di depannya. Seorang pria keluar dengan setelan rapih dan mengangguk pada gadis itu.

"Silahkan, Nyonya. Pak Rillian menyuruh saya menjemput anda," kata pria itu.

Nadira tidak bisa menahan senyum dan masuk ke dalam mobil sambil berpikir jika sikap Rillian sangat manis hingga mengirim seorang sopir untuk menjemputnya.

Sementara di lokasi tempat perjanjian, Rillian sudah mulai gelisah. Bayangkan, dia datang dua jam lalu. Membatalkan semua pertemuan penting untuk pekerjaan. Salahnya dia memilih hari ini untuk mengajak Nadira alih-alih di akhir minggu. Berkali-kali dia melihat arloji di tanganya yang menggenggam dua lembar tiket menonton. Menunggu dengan cemas. Apakah Nadira akan datang atau gadis itu justru melupakan janji mereka?

"Santai, Rillian. Kamu bukan orang yang penggugup seperti ini, oke. Tarik nafas..." Rillian menarik nafas dalam-dalam. Bukannya hilang, dia malah semakin cemas dan gugup.

Tepat jam satu kurang beberapa menit, Nadira datang mendekat. Wajahnya memerah dan Rillian berharap wajahnya sendiri tidak semerah itu walaupun dia merasakan yang sebaliknya.

"Hai, sudah lama?" Sapa Nadira gugup. Dia memandang sekeliling yang lumayan sepi. Hanya ada beberapa pasangan muda-mudi yang sedang berkencan saling bergandengan tangan atau malah berbagi minuman juga popcorn.

Membuat Nadira malu sendiri.

"Tidak juga. Aku baru saja sampai," dusta Rillian.

Nadira mengangguk, tidak tahu harus berkata apa. Ini adalah pertama kalinya dia kehilangan kata-kata di depan Rillian dan juga tidak berani menatap pria itu lebih dari dua detik.

"Sudah mau mulai, ayo masuk. Ehn...kamu masuk dulu, aku mau beli minum," Rillian memberikan selembar tiket pada Nadira.

Nadira menerimanya dan buru-buru masuk ke antrian untuk masuk studio. Dia tidak memperhatikan film macam apa yang akan dia dan Rillian tonton. Setelah duduk selama lima menit, Rillian bergabung di sebelahnya, memberikan minuman dan juga popcorn dalam porsi besar.

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang