Sepuluh

718 34 0
                                    

AKIRA'S POV

Terhitung sudah seminggu aku menderita, eh, hidup di pondok maksudnya.

Cukup susah untuk beradaptasi dengan situasi yg sangat baru ini. Terlebih lagi, cara para santri memandang dan memperlakukanku itu sudah seperti memperlakukan gembong narkoba yg amat berdosa. Gimana gak makin susah berbaur?!

Mau cerita, gak tau ke siapa. Mau berteman, gak ada yg mau ngobrol sama aku. Susah.

Aturan pondok juga bikin aku makin merasa hidup kayak zombie.

Harus selalu bangun jam 3 pagi, sholat tahajud, harus sholat 5 waktu berjamaah di masjid, kelas bahasa arab, dan seluruh tetek bengek aturan menyengsarakan lainnya bekerja sama membuatku dibunuh perlahan.

Kalau di suruh pilih, lebih baik aku tawuran 7 hari 7 malem aja daripada hidup begini. Capeknya sama, asli.

Bughh..

Aku melirik orang yg menabrakku, ternyata si bangsat.

"Kalo jalan pake mata, dong!" katanya.

"Setan! Lu yg tabrak gue, anjer!" aku menarik kerah bajunya. Renata si bangsat ini selalu mencari masalah.

"Lepas!" katanya memukul tanganku yg masih mencengkeram bajunya.

Aku semakin mengeratkan, "Sekali lagi lu macem-macem sama gue.. lu, mati!" ucapku tegas.

Ekspresinya langsung ciut. Haha.. Aku tertawa dalam hati. Puas sekali rasanya. Tapi, akan lebih puas kalau pukulanku mendarat di wajahnya, sih.

Tak mau berurusan lama dengan anak sialam ini, aku melepaskannya, lalu pergi.

Aku berjalan tanpa tujuan. Engg.. Sebenarnya ada tujuan, nyari tempat sepi untuk healing. Aku butuh satu tempat untuk menyendiri, mengistirahatkan jiwa yg capek disiksa keadaan.

Tiba-tiba aku teringat atap. Tempat Yudha ngomong serius berdua sama aku. Tanpa sadar bibirku tersenyum. Sial, aku kangen sekali sama pacar gak bertanggung jawab itu.

Eh, atap?!

Iya, atap. Pasti sepi.

Gak akan ada yg mau ke sana, kan?!

Aku dengan cepat berjalan menaiki tangga. Setelah sampai, aku membuka pintu untuk keluar menuju atap.

"Yes! Akhirnya nemu markas!" teriakku penuh semangat setelah celingak-celinguk memastikan bahwa di sini gak ada orang.

Aku melakukan selebrasi, yaitu lari memutar dengan kedua tangan menghadap belakang (iya, aku terinspirasi film Naruto).

"Siapa di sana?"

Aku berhenti berlari, lalu melihat ke arah sekitar, mencari siapa yg bersuara barusan.

"Kamu yg anak baru itu, ya?" Seorang perempuan berwajah kalem mendekatiku.

Aku mengangguk seadanya. Aku terlalu sibuk kaget mengetahui bahwa selebrasiku tadi gak ada gunanya. Ternyata di sini gak sepi, anjir.

"Mau temenan?" tawarnya.

"Lu siapa?!" tanyaku dengan nada menginterogasi.

Ingat, di tempat ini kita harus menaruh curiga pada setiap orang. Bisa aja dia ini pura-pura baik, terus pas aku lengah, dia mengambil alih semua hartaku. Eh, mon maap, keknya aku mikir terlalu jauh.

Dia tersenyum, "Aku Imah." katanya.

Namanya norak sekali, batinku.

"Aku juga kayak kamu, gak punya temen."

RELATIONSICK ✔ (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang