Dua Puluh Lima (End)

1.1K 38 24
                                    

AKIRA'S POV

"Gimana sekarang, udah dapet jawaban?" tanya Abdi.

Geng kami sedang bertemu. Ada Yudha di sini, kalau kalian ingin tau. Oh iya, ini akan jadi yg terakhir mereka menjenguk, karena minggu depan kami akan ujian semester. Yey, libur. Bisa bebas, bisa main sepuasnya sama mereka.

"Kepo, lu!" jawabku singkat lalu sesaat kemudian tersenyum.

Satu bulan belakangan adalah fase terberat, mungkin, dalam hidupku. Berat harus menahan rindu. Berat harus kehilangan dua orang yg punya peran masing-masing di hidupku. Mereka benar-benar punya peran yg luar biasa dalam hidupku.

Yudha ngajarin aku ikhlas saat dia memutuskan untuk ke Amerika. Dia juga ngajarin aku untuk mahal, gak asal ngasih ciuman dan kehormatanku ke pacar. Dia ngajarin aku untuk punya prinsip hidup, nakal boleh, goblok jangan.

Gaza, jangan ditanya. Kalian udah pada tau kan, aku bisa ngaji dan tilawah gini juga karena dia. Dia yg bikin aku mau mencoba mengikuti aturan pondok. Dia memotivasiku sampai bisa jadi Kira yg sekarang.

Sebenarnya jawaban sudah ada di kepalaku saat ini. Tapi, aku akan tetap menunggu sampai harinya tiba. Siapa tau, nanti aku akan berubah pikiran lagi, ya, kan?

Selain merindu, aku juga disibukkan dengan kegiatan berlatih tilawah. Kalau kalian ingat, beberapa waktu lalu aku diberi mandat untuk menjadi perwakilan pesantren dalam lomba tilawah sejakarta. Aku tak mau tampak tolol di depan juri nantinya, makanya aku mau berlatih dengan keras.

Dan, tau? Tilawah lebih susah daripada tawuran. Kedua istilah tersebut memang diawali dengan huruf yg sama. Tapi, dalam prakteknya, sangat beda. Tilawah lebih memakan energiku. Aneh. Tapi, biarlah itu tetap menjadi misteri.

"Lu semua dateng, kan?" tanyaku memastikan kehadiran mereka di lombaku. Enak saja mereka kalau gak datang ke lomba pertamaku setelah menjadi Kira yg baru. Kira yg berhijab, bisa ngaji, dan sedikit ngerti agama. Ini gak kayak Kira yg berandal dulu, yg sukanya tawuran--sekarang masih suka, kok, hehe--, dan urak-urakan.

"Kapan, sih?" tanya Ray.

"Ish! Udah berapa kali gua kasih tau juga," jawabku kesal. Ni orang-orang pada gak bawa otak kali ya, udah dua kali dikasih tau, masih aja nanya. "Malam minggu. Itu besok malem kalo lu pada kagak tau,"

Mereka manggut-manggut.

"Iya dateng. Bawel amat lu, kayak cewek," ucap Joni.

"Terus lu pikir gua sekarang apa kalo bukan cewek? Kadal afrika?"

Yg kuajak bicara dan sebagian besar yg hadir tertawa.

*****

Hari ini adalah hari lombaku. Aku gugup bukan main. Dari semalem aku terus berdoa agar tak melakukan hal konyol di panggung nanti. Karena, kemungkinan aku melakukannya adalah sekitar 78%.

Kenapa begitu? Tentu karena ini pengalaman pertamaku. Dan, yg biasanya pake otot dan emosi, sekarang harus pakai hati. Jadi, agak susah untukku mengatur diri.

Tadi orangtuaku datang dan menyemangatiku. Mereka duduk di bangku penonton sekarang.

Aku menggenggam tanganku sendiri, menutupi rasa gugupku. Aku mencoba mengatur napasku.

"Wih... Seneng banget mukanya, mbak," ucap Joni menggodaku. Joni datang bersama Ray dan Abdi. Entah dimana si Jono berada, bisa-bisanya dia melepas Joni seperti ini.

"Mata lu seneng! Gua lagi gugup, gini." protesku, "Gua timpuk meja juga, nih,"

Mereka tertawa, "Butuh penyemangat?" tanya Abdi.

RELATIONSICK ✔ (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang