Delapan Belas

588 32 0
                                    

KIRA'S POV

Ini sudah seminggu sejak Yudha datang ke sini. Aku sangat menyesali pertengkaran kami. Tapi, aku juga gak bisa ikut dia ke Amerika. Ya, mungkin Amerika cocok untuk dia, tapi untuk kita, mungkin gak.

Hubunganku dengan Gaza baik-baik saja. Dia gak pernah nanya tentang Yudha. Akupun belum berniat untuk cerita sama Gaza. Aku rasa ini belum saatnya.

Jum'at ini aku dijenguk oleh gengku. Kami nongkrong di tukang mie ayam dekat pesantren. Aku memperhatikan pintu masuk ke warung ini dengan seksama, menunggu satu orang.

"Dia gak bakal dateng, kalo Yudha yg lu cari," tembak Ray.

Aku memasang wajah pura-pura gak mengerti apa yg dimaksud Ray, "Ih, paan dah, sok tau, lu!" ucapku.

Ray, Abdi, dan Jojo Bersaudara tertawa, "Lu itu mudah banget dibaca, Ra. Ngaku aja, sih," ucap Joni.

Eh, sekarang lebih mudah membedakan mereka. Joni mewarnai rambutnya dengan warna abu-abu. Walaupun wajah Joni jadi mirip seperti kakek tua, setidaknya kami jadi lebih mudah membedakan dia dengan Jono.

"Dia udah balik, ya?" tanyaku. Ya, langsung aja tanya, toh sudah ketauan, kan, kalau aku mencarinya.

Abdi menggelengkan kepalanya, "Belum, Ra. Masih ada urusan, katanya," Abdi meletakkan mangkok berisi mie ayam dengan 2 bakso di depanku.

Aku tak menanyakan lebih lanjut perihal urusan apa yg dimaksud Abdi. Aku terlalu lapar untuk itu. Aku memilih untuk menyelamatkan perutku.

*****

"Masih kepikiran Yudha?" tanya Imah. Sepertinya dia ngeliat kalau aku dari tadi bengong.

Aku mengusap wajahku dengan kedua tangan, frustasi. "Dia tadi gak dateng bareng anak-anak. Entahlah, dia sibuk persiapan buat balik ke Amerika lagi, kali," kataku.

Imah mengusap pundakku, "Kalau dia mau pergi lagi, pasti dia pamit kok,"

"Yakin? Aku marah banget lho kemarin sama dia. Aku takutnya dia gak berani ketemu aku lagi, terus pergi tanpa pamit. Aku takut dia ninggalin aku lagi," ucapku khawatir.

"Sini," kata Imah membuka kedua tangannya, akupun memeluknya.

"Tenang aja, semuanya akan baik-baik aja, kok." bisiknya. Aku beruntung punya Imah di sini, dia selalu ada dan mengerti.

*****

"Iya, Ustadzah Ila bilang kalau beliau gak nyangka aku berubah banyak gini, hehe. Sumpah ya, Za, aku bahagia banget denger omongan beliau. Aku ngerasa usahaku dihargai," ceritaku pada Gaza. Kami sedang duduk berdua di masjid, setelah sholat ashar.

"Alhamdulillah kalau kamu senang. Beliau sudah seharusnya muji kamu, karena kamu memang seluarbiasa itu. Kamu berubah banyak, dan itu patut diapresiasi," ucapnya lalu tersenyum.

"Makasih ya, kamu bikin kebahagiaanku jadi semakin lengkap, hehe.." balasku.

Hening.

Aku mencoba memulai percakapan serius, "Oh ya, tentang Yudha.."

"Kalau belum mau cerita, gak apa-apa kok," sanggahnya.

Aku menggelengkan kepala, "Aku mau cerita," kataku, "Dia minta aku ikut ke Amerika, tapi aku gak mau, aku sudah nyaman di sini. Jujur, Za, aku masih sayang sama dia, sangat. Tapi, aku juga sudah sayang sama kamu. Aku bingung," jelasku.

RELATIONSICK ✔ (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang