11. Lintang Soka

99 2 0
                                    

Seluruh penghuni dukuh tewas, semua yang bernyawa tewas.

Hanya satu bocah malang yang berhasil disambar dan diselamatkan sosok kurus tinggi berpakaian compang-camping layaknya pengemis membawa tongkat butut.

Sosoknya mengepit tubuh bocah itu dan melesat cepat menjauhi tempat yang berbahaya.

*

Dua bayangan itu terbang cepat seperti lesatan meteor ke arah Tenggara.

Deru lesatannya membelah angin yang berpapasan tersibak dan selanjutnya membiarkan bayangan itu sampai di ujung sebuah bukit yang permai.

Bukit penuh pepohonan, semak perdu dan sekumpulan bebungaan yang indah beraneka warna dimandikan oleh sinar sang surya yang hangat nikmat!

Di sebuah kumpulan batu datar, berhentilah sosok kurus compang-camping yang mengepit bocah laki-laki cilik itu.

Bocah cilik itu diletakan di atas batu dengan hati-hati. Kemudian diperiksanya dengan teliti.

Bocah malang itu hanya diam saja, merasa bahwa orang ini mau menolongnya.

*

Semua tanda vital di tubuhnya masih normal meski lemah sekali memberikan respon.

Sebuah keajaiban, bahwa asap biru muda beracun itu yang menghabiskan semua makhluk bernyawa di dukuhnya juga kedua orang tuanya tidak berhasil merenggut jiwanya.

Sosok pengemis kurus itu kembali memeriksa dengan seksama, hingga ke bagian lima panca inderanya.

"Aahhh... !" suara keluh gegetun sesal keluar dari bibir pengemis kurus itu.

"Semua inderanya bagus dan selamat. Tapi, kedua matanya terluka serius, kemungkinan ia akan menjadi buta. Ah, kasian bocah ini," batin pengemis kurus itu.

Sudah kepalang tanggung, untuk menyelamatkan bocah malang itu. Diambilnya kantung obat penguat tubuh dari balik bajunya.

Dipaksakan masuk ke dalam mulut bocah yang terkatup dengan wajah pucat.

Dibantu dengan air bersih yang dia ambil dari ceruk kecil di kali dekat bukit itu.

Kemudian ditotoknya semua jalan darah penting, untuk menjaga segala kemungkinan terburuk dan mempercepat untuk kembali pulih.

*

Setelah sepersekian saat kemudian wajah bocah yang semula pucat berubah kemerahan. Nafas yang semula lemah sudah terdengar normal.

Tak beberapa lama, bocah itu berhasil membuka matanya. Tubuhnya yang semula lemas kini perlahan sudah kembali normal bertenaga.

Wajahnya bulat tampan, meski sekarang diselimuti debu.

Alisnya melengkung tebal seperti sepasang golok terbang. Hidungnya mancung, bibirnya menarik dengan bayangan senyum.

Ah, matanya bulat besar... dan kini buta!

Seperti dugaan pengemis kurus sebelumnya.

"Ah... Aku di mana? Mengapa semua gelap?," suaranya terdengar lembut dan sangat menyedihkan.

"Bocah bagus, siapa namamu?" tanya pengemis kurus hati-hati.

Bocah itu terkejut lagi. Setelah merasa dirinya terbang dan selanjutnya dia merasakan ada tangan yang bergerak memijat dan mengurut semua bagian tubuhnya. Menotok syaraf penting beberapa kali, juga helaan nafas yang berkali-kali didengarnya. Hanya didengar karena semua kini gelap.

Bocah malang itu menyadari bahwa orang yang bertanya adalah orang yang menolongnya juga.

Suara penolong adalah suara laki-laki tua yang terdengar jelas dan bening.

"Kakek, aku Lintang Soka. Aku di mana? Mengapa gelap semua?"suaranya jelas bening, nampak kebingungan, tapi bukan ketakutan.

Pengemis kurus yang bernama Ki Juru Sembilang tak kuasa menahan haru.

Untuk beberapa saat dibiarkan hening di antara mereka berdua.

Hanya suara beburungan dan satwa yang melintas menjadi harmoni yang semarak dan semangat di bukit Serambi Rindu.

Menjadi kontradiksi dengan nasib yang menimpa Lintang Soka.

Bagaimana nasib Lintang Soka selanjutnya?

Adakah Lintang Soka berhubungan dengan Lentera Maut juga?

Bersambung...






Lentera MautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang