[Ganendra]

612 90 29
                                    

"Bang, aku mau ngekos didekat klinik aja."

Sang lawan bicara menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa? Ada masalah kalo tetap dirumah?"

"Biar gak telat aja." Adiknya menjeda. "Aku juga mau coba untuk mandiri."

"Kamu bisa berusaha mandiri dirumah," sela sang Abang.

Ganendra berdecak kesal. "Ih! Mana bisa aku belajar mandiri kalo ada abang?!"

"Gampang." Abangnya menyunggingkan senyum miring. "Abang gak akan pulang seminggu, abis itu kamu dirumah belajar mandiri tanpa abang."

Bukan. Bukan itu maksud Ganendra. Ia hanya ingin hidup mandiri, bukan tak mengharapkan Abangnya untuk pulang kerumah. Sang Abang yang tak pulang kerumah merupakan mimpi buruk. Karena pergaulan luar yang lebih tua tidak dapat dikatakan sehat. "Mau nginep dimana? Sama temen-temen balap abang?"

"Mungkin?"

"Ih!" Sang adik menghentakkan kakinya kesal. "Iya-iya! Aku gak akan kemana-mana, disini aja sama abang."

"Janji?"

Ganendra mengangguk dengan berat hati, namun berusaha ikhlas. Demi sang Abang. "Iya, janji."

Be Careful

Pemuda itu berjalan cepat menuju tempatnya bekerja. Sudah sangat sore, harusnya Garendra bisa sampai ditujuan 5 menit yang lalu. Shift malamnya hari ini sudah menunggu, sampai disana rekan kerja pasti akan berceloteh ria.

Salahkan abangnya yang tak ingin mengalah dan biarkan dia hidup sendiri. Sialan sekali.

Garendra hanya ingin hidup mandiri, mengapa susah sekali?

Baiklah, sekarang Garendra mengantongi sejumlah uang namun tak sepeserpun ia gunakan. Fokusnya hanya satu, sampai diklinik secepat yang dia bisa.

Garendra menyambar alatnya dengan cepat, taruh tasnya sembarangan dan langsung keluar dari ruangan. Langkahnya cepat sekali menuju IGD yang meski hanya klinik rata-rata, namun telah ramai. Bukan oleh pasien, melainkan keluarga mereka yang kekeuh tetap ingin berada disamping pasien. Sedikit menyebalkan memang, tapi Garendra bisa memaklumi. Mereka hanya orang-orang dengan rasa empati dan kasihan yang tinggi, hingga tak ingin tinggalkan keluarganya seorang diri begitu saja.

"Bu, maaf. Pasien akan segera ditangani, harap keluarga pasien menunggu diruang tunggu," tuturnya halus pada salah satu keluarga pasien.

Yang diajak bicara seolah tak perduli. Acuhkan kata-kata sang perawat pria sambil terus memegangi tangan pasien.

Ganendra berusaha sabar. Hingga akhirnya perawat lain mengambil alih pasien tersebut dan ia beralih pada pasien lain yang masih belum ditangani.

IGD hari ini cukup ramai. Pemuda manis itu bahkan melewatkan makan malamnya. Jangankan untuk makan malam, sekedar duduk dan bernafas pun tak bisa. Ada saja orang yang memanggil namanya untuk dimintai bantuan, atau ambil alih atas pasien yang seharusnya bukan bagian pemuda itu.

Ganendra tak bisa menolak. Ia termasuk seseorang dengan tingkat empati yang tinggi. Menolak permintaan orang lain hanya akan menyakiti dirinya sendiri.

Dahi mulus itu berkerut saat tak mendapati seorang pasien ditempat yang seharusnya. Bukan bagian dia, tapi ia hanya ingin memeriksa. Ganendra tahu teman-temannya akan sangat lalai dan tak benar-benar hati-hati. Mengingat posisi mereka hanya perawat, bukan dokter.

Setelah bertanya pada beberapa perawat lain yang sekiranya dapat diandalkan, pemuda itu baru tahu bahwa pasien yang ia cari sudah pulang. Tanpa alasan yang jelas, bukan atas izin dokter. Lalu, bagaimana bisa?

Be Careful Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang