"Tenang, Air. It's just a bad day, not a bad life."
--Air Telaga--
Aku masih tiduran di ranjang UKS saat bel istirahat pertama berdering. Sementara Hasbi sudah lebih dulu kembali ke kelas. Katanya gara-gara jam pelajaran ke tiga dan ke empat adalah jamnya Bu Dayu. Mubazir kalau sembilan puluh menit bersama Bu Dayu yang bidadari itu dilewatkan begitu saja.
Jadilah aku di UKS seorang diri. Kakiku tidak selemas tadi pagi, napasku juga mulai normal, yang tertinggal hanya sisa-sisa pening. Tidak begitu menyiksa, tapi aku butuh tiduran lebih lama. Berharap dengan begitu saat jam pulang nanti aku bisa lebih segar, dan Bunda tidak akan tahu ihwal serangan asmaku tadi pagi.
Setelah memeriksa beberapa notifikasi pesan dan merasa tidak ada yang penting, aku kembali coba memejam. Namun, urung, saat aku dengar suara derit pintu UKS. Lalu sapaan petugas jaga UKS entah pada siapa.
"Air? Iya masih di dalam, masuk aja!"
Namaku disebut, aku jadi terjaga sepenuhnya, mataku waspada, awas menatap gorden di sebelahku. Sampai wajah seseorang yang belum begitu familier muncul dari celah gorden hijau yang bau debu.
Kak Alam!
"Air, gimana masih sakit buat napas?"
Dia datang dengan senyum canggung, lalu mengambil duduk pada bangku plastik di sebelah ranjangku. Kak Alam juga membawa sekantong plastik roti dan air mineral, mungkin untukku. Jujur, aku tidak kepikiran kalau Kak Alam yang datang, karena sejauh ini hanya Hasbi temanku. Jadi rasa sungkanku berkali lipat, karena itu aku bangkit, dan duduk bersila masih di atas ranjang. Mengangguk sopan pada kakak kelas itu, sambil tersenyum kecil.
"Alhamdulillah, udah nggak Kak. Ini mau balik kelas."
"Eh jangan dulu, Lo makan aja dulu biar nggak pucet."
Ini kakak kelas mungkin sebelas dua belas sama Hasbi, beda tipis anehnya. Aku kan pucetnya bukan gara-gara belum sarapan, ngapain juga dibawain roti sebanyak itu?
"Saya tadi udah sarapan, Kak. Jadi belum begitu lapar. Kakak bawa aja, saya beneran udah nggak apa-apa. Jadi Kak Alam jangan ngerasa bersalah."
"Panggil Bang aja Air, biar santuy. Lo juga boleh kok pake lo-gue kalau ngomong sama gue."
"Eh … iya, Bang. Makasih."
Perhatian Kak Alam mungkin diawali oleh rasa bersalah. Tapi saat kami terlanjur mengobrol banyak hal selama lima belas menit jam istirahat, aku tahu, Kak Alam memang dasarnya sosok yang baik. Dari sorot mata dan bagaimana caranya meminta maaf, aku mengerti dia benar-benar menyesali ketidaksengajaannya pagi tadi.
Kak Alam bahkan sempat menawarkan bantuan andai di masa depan aku menemukan kesulitan di Saka, aku bisa mendatanginya. Tentu saja aku menerimanya dengan suka cita, walau sebenarnya aku sendiri ragu jika momen itu akan tiba. Lagipula tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, bukan?
Lepas bel istirahat berakhir dan Kak Alam pamit untuk kembali ke kelas, Hasbi masih belum menunjukan batang hidungnya. Aku lagi-lagi sendirian. Jadi tanpa menunggu Hasbi datang, aku berniat untuk kembali ke kelas seorang diri.
Hampir setengah umurku mengenal Hasbi, aku tahu bagaimana perangainya. Dia tidak mungkin tidak acuh seperti ini jika tanpa alasan. Jam pelajaran Bu Dayu juga sudah habis. Jadi aku khawatir alasannya tidak datang untuk menemaniku adalah karena ….
"Air, sayang …."
Hasbi menghubungi Bunda.
Dasar kampret! Pasti setelah ini Bunda akan semakin melarangku untuk membeli motor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Freesia
Teen FictionAir tidak pernah tahu apa itu penolakan. Sejak ibu melingkarkan rantai kecil berliontin biru misterius ke pergelangan tangannya, tidak ada seorang pun yang mampu lepas dari pengaruh Air. Masa-masa remaja Air lewati tanpa secuil kerikil. Semua berj...