"Jika kamu mendapatiku mengejekmu, mencacimu, percayalah, aku tidak sengaja. Karena ketakutanku-lah yang melakukannya."
-Air Telaga Maya-
Aku harap malam ini hujan turun. Deras. Hingga aku bisa tertidur di bawahnya. Sampai aku tenggelam dan menghilang. Lalu … sunyi.
"Air! Bangun!"
Berjingkat kaget, aku melihat Kak Agni berdiri di sebelah. Dia masih mengenakan helm dan jaket. Alis tebalnya menukik, hampir bersatu, sepertinya khawatir melihatku tertidur di depan Indomaret malam-malam begini.
"Kak Agni?"
Kak Agni mengambil kursi di seberang meja setelah menyodorkan sebotol kopi instan dalam botol. Aku baca rasa yang tertulis pada kemasannya, Funtastic Mocacinno. Hmm … aku benci kopi instan.
"Lo ngapain tidur di sini? Nggak pulang?"
Aku tersenyum kaku, mengeluarkan ponselku yang mati dan menunjukkannya pada Kak Agni.
"Boleh pesenin ojol nggak, Kak?"
Kak Agni berdecak kecil, menelan kunyahan sandwich coklat sari roti dengan santai padahal sedari tadi helmnya belum dilepas. Sepertinya takut dimaling orang.
"Rumah Lo mana sih? Gue anter pulang aja."
"Serius Kak?"
"Iya, buruan!"
Jam delapan malam saat aku dan Kak Agni meninggalkan Indomaret depan Saka. Kak Agni duduk di belakang dengan tenang, membiarkan aku menyetir dengan alasan ribet kalau harus teriak tanya arah di tengah riuh jalanan.
Jalanan malam itu cukup ramai, aku sengaja memutar. Mengulur waktu sebanyak mungkin. Malam ini aku sedang tidak ingin pulang. Pun begitu sampai di rumah aku bisa mengeluh lelah dan langsung pergi tidur.
"Kalo enggak ada niat pulang mending Lo tidur tempat gue, enggak perlu habisin bensin kayak gini, njir!"
"Maaf, Kak."
Terpaksa aku ambil belokan terakhir, masuk ke area Moon Garden, lalu berhenti tepat di depan rumah Hasbi. Sengaja, aku hanya butuh satu dua alasan untuk menghadapi Bunda nanti.
"Ini rumah, Lo?"
"Bukan, Kak. Masih tiga rumah lagi dari sini."
Aku turun dari motor, membiarkan Kak Agni maju ke depan untuk mengambil alih motor tanpa harus turun sebelumnya. Dagu tajam Kak Agni manggut-manggut, matanya tertuju pada rumah gedongan bercat abu-abu gelap di sudut pertigaan. Rumahku, bukan … tapi rumah Bunda dan Ayah.
"Yakin Lo mau turun sini aja?"
Aku mengangguk. Menunggu Kak Agni merapatkan jaket denimnya sambil mengedar pandang ke sekeliling. Enggak kebaca olehku apa yang Kak Agni pikirkan.
"Yaudah, gue balik ya."
"Makasih, Kak. Hati-hati!"
Sepeninggal Kak Agni, aku menghela napas berat. Ingin pulang, tetapi rasanya aku tidak lagi memiliki rumah. Ingin tinggal, namun langkahku terlanjur hafal ke mana arah jalan pulang.
Dari kejauhan aku bisa melihat halaman luas di balik pagar tinggi yang megah. Ada Bunda, yang mondar-mandir di teras rumah sambil sesekali melakukan panggilan entah dengan siapa. Gurat khawatir jelas di wajah Bunda, aku jadi bertanya-tanya, siapa yang Bunda khawatirkan.
"Assalamualaikum, Bunda."
"Walaikumussalam, Air Telaga!"
Bunda setengah berteriak, berjalan cepat ke arah gerbang untuk menunggu Pak Eko membukakan pintu untukku. Begitu kakiku menginjak halaman, Bunda menarik lengan, dan menenggelamkanku dalam peluknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Freesia
Novela JuvenilAir tidak pernah tahu apa itu penolakan. Sejak ibu melingkarkan rantai kecil berliontin biru misterius ke pergelangan tangannya, tidak ada seorang pun yang mampu lepas dari pengaruh Air. Masa-masa remaja Air lewati tanpa secuil kerikil. Semua berj...