"Rasa yang datang saat kau tersenyum padaku adalah sebuah misteri yang tidak pernah berani aku ungkap."-- Air Telaga --
Pagi ini ada yang aneh. Ada Bunda yang sudah cantik, rapi luar biasa menemaniku sarapan. Padahal biasanya jam-jam segini Bunda masih sibuk berkebun lengkap dengan peralatannya yang serba merah jambu.
"Sarapan, Air." Bunda mengambil sepotong roti wortel buatan sendiri dan meletakkannya di piringku.
"Bunda mau kemana?" Aku bertanya penasaran, sambil membuka kaleng selai kacang, kemudian mengoleskannya ke roti tawar dari wortel hasil eksperimen Bunda itu.
Jangan salah, Bunda adalah salah satu wanita cerdas lulusan MIT. Bahkan, sampai sekarang Bunda masih sering bercerita bagaimana indahnya suasana bike path di pinggiran Sungai Charles. Tempat penuh kisah, di mana Ayah dan Bunda dipertemukan untuk pertama kali.
Sebelum mengadopsiku, Bunda bekerja di salah satu perusahaan portal web terbesar di Indonesia. Posisi Bunda di perusahaan sempurna, dengan gaji dan fasilitas komplet yang menggiurkan, tapi Bunda tetap yakin untuk berhenti, dan lebih memilih untuk mengurusku di rumah.
Keseharian Bunda disibukkan dengan berbagai jenis tanaman organik di kebun kecil belakang rumah. Seperti wortel, ubi ungu, tomat dan masih banyak lagi tanaman berkarotena yang katanya baik untuk penderita asma sepertiku.
Tidak cukup hanya dengan menanamnya, Bunda juga mengolahnya sendiri menjadi makanan yang tidak membosankan.
"Kan mau nganter Air sekolah hari ini," kata Bunda kelewat santai, tangan kirinya menggeser halaman e-book dari kindle paperwhite, sementara tangan kanan masih memegang roti.
"Air nyetir sendiri aja, Bunda."
"Eits, semalem kan udah bilang sama Ayah. I'll drive you school to day, end of discussion!"
"Iya, Bunda, Iya …."
Bukannya apa-apa, sesuai pengalaman, Bunda suka aneh-aneh setiap kali mengantarku ke sekolah. Bunda tipe wanita cerdas yang masa bodoh dengan orang sekitar, tipe ibu-ibu nyentrik yang anti mainstream, mantan hipster yang sisa-sisa gayanya masih kebawa sampai sekarang.
Rapinya Bunda itu bukan yang sekadar setelan blouse dengan celana panjang kain. Pagi ini Bunda mengenakan atasan bunga-bunga sepanjang betis, dipadu dengan celana panjang senada yang aku tidak tahu apa namanya. Bunda melipat ujung celananya, kemudian Bunda jodohkan dengan Reebok Aztrek hitam. Pashmina Bunda disampirkan asal, tapi tetap rapat, dan sudah ada DiorStellaire di ujung kepalanya, bentuk antisipasi dari teriknya matahari Jakarta.
Pantas kalau teman-teman SMP-ku dulu menyangka Bunda sebagai selebgram ibukota. Minta foto bareng, lanjut diunggah di sosial media masing-masing. Yang aku tidak habis pikir adalah, siapa yang mau mereka tag? Bunda punya akun Friendster saja tidak, apalagi Instagram.
"Bun …."
"Kenapa, Sayang?"
Kami sudah di dalam mobil sekarang, dengan aku di balik kemudi. Bergulir perlahan keluar dari lingkungan perumahan.
"Mau bantuin Air ngomong ke Ayah?"
"Tentang?"
Portal terbuka, aku bisa melihat Pak Nanto--satpam depan perumahan--bergegas mengangkat tangan untuk menyapa kami. Tapi matanya fokus ke Bunda. Aku bunyikan klakson sekali sambil cepat-cepat menaikan kaca. Pesona ragawi Bunda memang berbahaya!
"Air kan punya tabungan, Bunda."
Bunda mengangguk, memintaku melanjutkan cerita.
"Nah, tabungan Air udah cukup buat beli motor."

KAMU SEDANG MEMBACA
Freesia
Teen FictionAir tidak pernah tahu apa itu penolakan. Sejak ibu melingkarkan rantai kecil berliontin biru misterius ke pergelangan tangannya, tidak ada seorang pun yang mampu lepas dari pengaruh Air. Masa-masa remaja Air lewati tanpa secuil kerikil. Semua berj...