Air tidak pernah tahu apa itu penolakan. Sejak ibu melingkarkan rantai kecil berliontin biru misterius ke pergelangan tangannya, tidak ada seorang pun yang mampu lepas dari pengaruh Air.
Masa-masa remaja Air lewati tanpa secuil kerikil. Semua berj...
"Jika aku tidak bisa membuat mereka tersenyum, aku tidak boleh membuat mereka menangis. Jika aku tidak bisa melindungi mereka, aku tidak boleh melukai mereka."
--JanjiAir--
Sepanjang perjalanan pulang Bunda tidak berhenti menanyakan keadaanku dan Risky. Apakah aku baik-baik saja, apakah Risky tidak terluka, dan bagaimana bisa perjalanan belanjanya hari ini berakhir dengan kejadian yang betul-betul tanpa preseden.
Sama seperti Bunda, aku juga tidak berhenti menjawab sekenanya. Sekadar ya, bilang bahwa aku tidak apa-apa, atau cukup dengan senyum samar yang sedikit aku paksakan. Karena di waktu yang sama, aku sibuk menggali batinku lebih dalam lagi, untuk menguak setiap detail terkecil ingatan.
Jelas-jelas aku di sana waktu itu, di hadapan Kak Agni. Saat Kak Agni secara gamblang menjelaskan padaku tentang gelang peninggalan Ibu dan apa yang tersembunyi di dalamnya. Aku terang mendengarnya, tidak satu kata pun terlewatkan. Termasuk saran Kak Agni yang memintaku untuk mengembalikan gelang itu ke tempat semula. Segera, secepatnya.
Aku menyimak semua.
Namun, kenyataan bahwa hanya gelang itu yang tertinggal dari Ibu tidak bisa aku abaikan begitu saja. Jika Kak Agni menyinggung tentang risiko, aku akan coba menanggungnya. Jika Kak Agni mempermasalahkan tentang pengaruh buruk yang akan muncul di kemudian hari, aku bisa berusaha menghindarinya.
Waktu itu, aku mengatakannya dengan penuh keyakinan. Di hadapan Kak Agni aku tegas menolak permintaannya. Untuk apa aku mengkhawatirkan sesuatu yang belum pasti terjadi di masa depan.
Lalu, sekarang aku temukan jawabannya.
Karena aku tidak hidup seorang diri.
Ada Bunda, ada Ayah, ada Hasbi, dan ada Risky. Ada mereka di sekitarku. Jika aku tidak sanggup menjaga mereka, paling tidak mereka tidak boleh terluka karena aku. Andai aku tidak mampu membuat mereka tersenyum, maka aku tidak boleh membuat mereka menangis.
"Mas Risky, aku turun di depan."
"Lhoh, sayang mau ke mana?"
"Air lupa, ada janji sama teman, Bunda."
"Besok aja enggak bisa, Air? Sudah mau magrib lho ini!"
"Enggak bisa, Mas. Urgent!"
Mata Bunda sedih, tangan kanannya memegang tangan kiriku erat. Sementara Risky berulang kali melihatku dari spion dalam, aku gagal meraba maksudnya. Mungkin sama khawatirnya dengan Bunda. Tapi kali ini aku benar-benar harus pergi. Secepatnya aku harus bertemu dengan Kak Agni.
"Nanti pulangnya telepon orang rumah aja ya, sayang. Biar dijemput."
"Iya, Bunda. Air pergi dulu ya, Bunda hati-hati di jalan. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
~Freesia~
"Lo enggak mau telepon orang rumah dulu?"
Kak Agni mengingatkan tepat usai aku memutuskan untuk menginap di rumah kontrakannya malam ini. Hampir jam sepuluh malam saat aku menyadari bahwa kami sudah terlalu lama berbincang, dan sudah terlalu larut untuk pulang naik taksi, apalagi menghubungi orang rumah untuk menjemputku.
Jadi, tanpa harus berpikir dua kali aku mengiyakan tawaran Kak Agni untuk bermalam. Mumpung Kak Agni di rumah sendiri, enggak ada Mbak Aisy yang suka berisik itu. Kata Kak Agni, Mbak Aisy menginap di rumah saudara yang sedang punya hajat, bantu-bantu ini itu.
"Jadi, sekarang Lo berubah pikiran?"
Aku mengangguk, menyaku ponsel, lalu berbaring di atas karpet ruang tamu Kak Agni. Menengadah ke atap memperhatikan serangga-serangga kecil yang berkerumun mengelilingi lampu. Bingung, ragu-ragu, enggak tahu lagi harus bagaimana.
"Kalau enggak gue balikin ke solo, tetap gue simpan di rumah, tapi enggak gue pakai gimana, Kak?"
Kak Agni tampak berpikir sebentar, lalu melipat kaki panjangnya.
"Itu artinya Lo masih butuh, Air!"
Aku memejam. Gelang itu satu-satunya yang tertinggal dari Ibu, Kak. Bagaimana aku enggak butuh?
"Sekalinya Lo butuh, sesuatu yang tinggal di dalam gelang itu bakal buat Lo tergantung sama dia. Makin hari dia makin besar, dan enggak mustahil nantinya dia bisa ambil kendali Lo!"
Aku bisa dengar Kak Agni membuang napas, agaknya sama pusingnya denganku. Enggak lama, dia lanjutkan kalimatnya, "Lo harus benar-benar ikhlaskan benda itu, Air. Demi diri Lo sendiri, dan orang-orang di sekitar yang Lo sayangi."
"Kalau gitu temenin gue ke Solo, Kak!"
"Gue ikut!"
Kaget mendengar suara Hasbi aku bangun terduduk. Anak itu sudah berdiri di ambang pintu, cengar-cengir sambil melepas helmnya.
"Lo ngapain di sini?"
Kak Agni sama kagetnya denganku.
"Numpang tidur."
Hasbi masuk begitu saja, kemudian mengambil duduk tepat di sebelahku.
"Kalau urusannya jalan-jalan gue enggak boleh ketinggalan!"
"Siapa sih, Bi yang mau jalan-jalan?"
"Itu tadi, Lo bilang mau ke Solo!"
Kak Agni ketawa mengejek sambil geleng-geleng, dia bangkit entah mau ke mana.
"Lo berdua ngobrol yang mesra dulu, jangan ada yang emosi, gue mau siapin ranjang malam pertama kalian."
"Amit-amit!"
Aku dan Hasbi ditinggal berdua di ruang tamu. Hasbi sibuk mengeluarkan bawaannya; lotion anti nyamuk, kaus kaki, sikat gigi, sampai penutup mata. Dia serius, mau ikut menginap.
"Lo enggak perlu repot jelasin ke gue. Teman enggak harus tahu semua yang terjadi pada temannya. Lo berhak punya privasi, Lo berhak punya masalah pribadi, jadi jangan merasa bersalah cuma gara-gara Lo enggak cerita sama gue. Karena gue juga enggak mau repot ngurusin masalah Lo. Cukup ajak gue ke Solo, oke?"
Hasbi beranjak membawa sikat dan pasta giginya. Sementara aku membeku, masih belum percaya Hasbi bisa menyusun kalimat berisi seperti tadi. Biasanya omongan Hasbi ringan sekali, kayak kentut.
"Emang Lo pikir Bunda bakal kasih izin kalau Lo perginya enggak sama gue?" teriak Hasbi dari arah kamar mandi.
"Tumben teman Lo pinter?"
Aku masih diam, sekaligus membenarkan kata Hasbi sebelumnya. Bunda tidak akan memberi izinnya jika Hasbi tidak ikut serta.
"Minggu depan gimana, Kak? Paginya terima rapot sorenya kita cabut."
"Cocok!"
"Gue juga oke!"
"Oke! Gue tinggal cari izin Bunda."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.