"Aku kurang piawai memaksakan kehendak. Tapi aku pandai menyetir pemahamanku akan setiap kejadian."
--Air--
Makan malamku bukan nektar dan ambrosia. Aku bukan Dewa-Dewi yang kehendaknya halal untuk menjadi nyata. Serius! Aku makhluk fana seperti bagaimana aku seharusnya, tidak ada satu pun kenginananku yang berhasil aku wujudkan.
Percaya atau tidak, yang seperti itu bukan kesialan.
Setiap hal yang terjadi padaku adalah setiap baris narasi Tuhan. Aku hanya harus menjalani. Sakit? Ya memang sakit rasanya. Kecewa? Enggak perlu ditanya lagi. Marah? Itu fase awal, sekadar dikompromikan.
Sekarang, aku bisa berjalan gagah. Senyum seperti biasa, sambil sesekali menertawakan kemalangan-kemalangan sebelumnya. Kalau dirasa-rasa, ternyata tidak sesulit yang aku bayangkan. Aku hanya harus melunak, mendengar setiap saran dari orang sekitar, lalu yang perlu aku lakukan hanya membuat pilihan.
Menyerah atau terus melawan sampai lebur.
Lantas dengan lagak sombong, aku menyerah.
Aku menyerah pada Shilla, pada Risky, pada Bunda, pada Ayah, pada apa yang selama ini aku coba perjuangkan.
Anehnya, rasanya melegakan.
Muncul jarak antara aku dan mereka. Aku tidak pernah bermaksud melakukannya. Ruang itu tercipta begitu saja, secara alami menjauhkanku dengan mereka.
Di awal, Bunda pernah bilang tidak apa jika aku butuh waktu untuk penyesuaian. Tapi semakin lama aku kian nyaman. Jarak yang terbentang seolah tahu tempat seharusnya aku berada.
Bukan di dekat mereka.
***
Sebulan, sejak aku pulang, keberadaan Risky tidak lagi menggangguku. Kami makan di meja yang sama. Mendengar obrolannya dengan ayah setiap sore. Melihatnya membantu Bunda membersihkan taman. Menyaksikannya menggoda Bu Sumi yang lagi nonton drama Korea.
Termasuk Ayah yang memintaku untuk memanggilnya Mas.
Bukan masalah besar. Aku bisa melakukannya, aku baik-baik saja.
Jangan berpikir yang aneh-aneh tentangku. Aku benar-benar oke!
"Woi! Air! Pulang sore lagi hari ini?"
Kecuali yang satu ini. Aku tidak menghindar. Ehm … awalnya ya, tapi malah jadi kebiasaan. Lima dari enam hari sekolah aku akan pulang terlambat. Aku punya banyak alasan untuk melakukannya, dan akhir-akhir ini sepertinya Bunda mulai malas untuk menanyakan alasan keterlambatanku.
Bagus, 'kan?
"Enggak, gue balik bareng Lo ya?"
Hari ini aku mau pulang tepat waktu. Kak Agnii lagi ada acara keluarga, Kak Alam lagi sibuk latihan untuk turnamen, dan aku terlalu malas kalau harus menghabiskan waktu di PlayThrough. Untungnya Hasbi masih sibuk dengan jatah piket kelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Freesia
Teen FictionAir tidak pernah tahu apa itu penolakan. Sejak ibu melingkarkan rantai kecil berliontin biru misterius ke pergelangan tangannya, tidak ada seorang pun yang mampu lepas dari pengaruh Air. Masa-masa remaja Air lewati tanpa secuil kerikil. Semua berj...