19. Emergency Call

452 67 33
                                    

"Cobalah menghiburku, walau rasa laraku tidak terlipur."

--Air--

"Ayah pasti juga enggak sanggup kalau harus kehilangan Risky, 'kan?" 

Aku luput membaca senyum Ayah. Senyum tipis Ayah hanya terukir sebentar lalu lesap, dia kembali menunduk, kemudian mengangguk. 

Benar!

"Kamu tahu, Er? Waktu itu berapa kali Ayah sama Bunda wira-wira ke Solo hanya untuk ketemu Risky?" 

Diam. Aku tidak ingin menjawab, selama Ayah bercerita tentang Risky aku akan memilih untuk bungkam. Aku harus tahu alasan kenapa Ayah begitu bersikeras mempertahankan Risky untuk tetap di dekatnya. 

"Enam kali." 

Ayah menjawab pertanyaannya sendiri sambil terkekeh kecil. Aku tidak benar-benar tahu apa yang membuat Ayah tertawa seperti itu. Mungkin menyadari betapa kacaunya mereka berdua saat itu, karena harus bolak-balik Jakarta-Solo sebanyak itu.

"Setiap kali datang Bunda selalu ngotot mau bawa Risky pulang. Cuma Risky, Er. Enggak pernah ada anak lain yang bisa gantiin Risky. Ehm … maksud Ayah, Bunda sayang semua anak-anak di sana. Tapi, hanya Risky yang ingin Bunda hujani kasih sayangnya. Cuma Risky!" 

Sepi kembali datang, tidak lama, setelah Ayah sempatkan untuk melihatku dengan mata sedih, dia melanjutkan ceritanya.

"Tapi Ayah selalu coba untuk mengulur waktu, coba berpikir lebih dalam, terus bertanya pada hati Ayah sendiri. Sudah siapkah Ayah? Sudah siapkah Bunda? Dan waktu itu yang paling penting adalah kesiapan Risky untuk menerima kami."

Iriku pada Risky jadi berlipat ganda sekarang! 

"Saat Ayah sudah siap buat bawa Risky masuk ke dalam kehidupan Ayah … Bunda berubah pikiran, kami tengkar hebat, itu pertama kalinya, Er."

Ayah berhenti sebentar, membuang napasnya, lalu menggeleng seolah masih tidak percaya bahwa kejadian itu pernah menimpa kehidupan rumah tangganya.

"Setiap kali datang, pasti kami akan menemukan anak baru. Tapi Bunda tidak pernah goyah, Bunda tidak pernah mengubah pilihannya akan Risky. Sampai kamu datang."

"Air merusak segalanya ya, Yah?"

"Ayah tidak pernah berpikir seperti itu, Er! Karena setiap peristiwa yang terjadi di luar kehendak kita adalah kehendak Tuhan."

"Tapi tetap aja sulit buat nerima, Air."

"Ayah butuh waktu." 

"Asal jangan selamanya aja!" 

Kami berdua tergelak. Suara tawa Ayah lebih lepas, dia menghela napas, meletakkan gelas di atas nakas. 

"Mungkin karena Ayah tidak pernah bisa melepaskan Risky!" 

Wajah Ayah kembali tegang, dan aku menyesali perkatakaanku.

"Ayah tidak pernah lupa wajah kecewa Risky saat pada akhirnya kamu lah yang Bunda ajak pulang. Mata sedih Risky yang menatap kepergian Bunda entah bagaimana melukai Ayah, Er. Ayah salah, dan apa yang selama ini Ayah lakukan, bukan untuk Risky tapi untuk Ayah sendiri, Er. Jika Ayah tidak melakukannya, Ayah tidak akan bisa menghilangkan rasa bersalah itu, mungkin juga Ayah tidak akan pernah bisa buat terima kamu!"

Setelah itu Ayah diam, cukup lama. Lalu bergerak menaikan meja makanku dan meletakan sarapan di atasnya. Aku diam, tidak ada lagi yang ingin aku katakan pada Ayah. Lagi pula dadaku sesak, penuh sekali rasanya, membayangkan Ayah tidak pernah bisa menerimaku. 

FreesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang