14. Memorist

362 54 15
                                    


"Tahu apa yang membuatmu tumbuh dewasa? Memori, kenangan yang selalu bisa mengingatkanmu tentang sesuatu di masa lampau."

-Air Telaga- 

Saat Bunda bisu oleh pertanyaanku, saat itulah Bunda mengaku jika Ayah tidak pernah benar-benar bisa menerimaku sebagai putranya.

Saat Bunda menangis tersedu sambil memelukku, saat itulah Bunda tahu kalau selama ini Ayah menyakitiku dengan setiap lakunya.

Maka, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan.

Ayah terlalu tinggi untuk bisa aku raih. Ayah terlalu besar untuk bisa aku usahakan. Jadi, aku pikir, menyerah pun tidak apa. Lagi pula aku punya Bunda. Bunda memberiku segalanya, mengasihiku dengan jiwa raganya, menyayangiku dengan segenap hatinya. 

Namun, lagi-lagi aku harus tercabik oleh kenyataan. Bahwa nyatanya ini semua bukan tentang apa yang telah aku terima, bukan tentang apa yang telah Bunda dan Ayah berikan padaku.

Melainkan tentang bagaimana aku bisa diterima oleh keluarga ini. 

Aku diguyur air shower dingin saat semua pemikiran itu muncul begitu saja. Seolah kepalaku adalah ladang jagung tandus, yang kena air sedikit saja, langsung ditumbuhi rerumputan liar. Sama liarnya dengan anganku. Tumbuh cepat dan sialnya sulit sekali untuk dihilangkan. 

Sebab semua ini bukan soal seberapa pantas aku untuk menerima seluruh kemewahan yang Ayah dan Bunda tawarkan padaku.

Sebab semua ini soal seberapa mewah aku untuk bisa Ayah dan Bunda terima dengan segenap hati mereka.

Fakta tersebut menyeretku kembali ke masa-masa itu. Hari-hari baruku di rumah  baru, dengan keluarga baru, bersama Ayah, dan Bunda baru. Serba baru. Termasuk perdebatan antara Ayah dan Bunda yang aku dengar sejak malam pertamaku tiba di rumah ini. Hal baru, yang entah bagaimana bisa aku lupakan dengan mudahnya.

Entah karena aku masih terlalu kecil, atau hal yang mereka perdebatkan terlalu menyakitiku. Aku hanya ingin melupakannya. 

Hah, aku tertawa getir, begitu ingatan-ingatan itu kembali masif. Terlanjur utuh untuk bisa aku buyarkan dengan sekali geleng kepala. Setiap kata yang Ayah ciptakan dengan gerak bibirnya, aku ingat semua. 

"Kenapa harus anak ini?"

"Bukannya Bunda tadi sudah mantap mau ngajak Risky?" 

"Bunda dengar sendiri, 'kan? Dia ada asma, akademisnya juga kurang bagus." 

"Ah satu lagi, dia masuk rumah asuh baru-baru ini, Bunda. Bukan dari bayi kayak Risky, Ibu asuhnya aja takut kalau dia ada trauma psikis yang belum kelihatan simtomnya."

Waktu itu Ayah meninggalkanku sendiri di ruang tamu, ada televisi besar di hadapanku, tapi Ayah tidak menyalakannya. Jadilah malam itu sunyi, terlalu sunyi, hingga aku bisa menangkap setiap kalimat penolakan Ayah.

Aku takut. Takut sekali. Anak lima tahun ini akhirnya menangis, aku menangis keras. Lalu, tidak lama, Bunda berlari dari arah tangga, memelukku erat. 

"Maafin Ayah ya, Sayang."  

"Pulanggg!" Tangisku makin pecah, aku berteriak ingin pulang. Tapi Bunda memelukku terlalu erat.

Bunda …. 

Maafkan, Air. 

Aku bersalah pada Bunda, karena telah menempatkannya di posisi sulit. Tempat, tepat di antara aku dan Ayah. 

Selama ini, Bunda pasti menderita. 

Aku menggigil saat keluar dari kamar mandi. Sudah ada Risky di depan pintu dengan sebelah tangan terangkat di udara, sepertinya berniat mengetuk. 

FreesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang