"Yang pertama selalu menjadi yang paling berkesan dan sulit dilupakan, selain memalukan."
~~Air Telaga~~
Katanya akan selalu ada yang pertama dalam setiap hal. Jika benar begitu, maka inilah pertama kalinya aku gagal. Belum pernah ada satu pun yang bisa menolak permintaanku. Sampai aku dipertemukan dengan seorang kakak kelas yang dengan mudahnya tidak menghiraukan pengaruhku. Bilang tidak dengan begitu gampangnya, lalu pergi begitu saja.
Adalah Agni Brata, sosok asing yang baru saja menanamkan lusinan pertanyaan dalam benakku. Bagaimana bisa dia menghindar begitu saja? Bagaimana caranya? Apa Kak Agni sama sepertiku? Dia yang tidak bisa aku pengaruhi, atau kekuatan gelang ini mulai hilang?
Lalu banyak pertanyaan lain mengusikku.
Aku masih duduk terpaku dengan mata tidak lepas dari Kak Agni yang berdiri di depan anggota Palaka lain. Tidak sabar, penasaran setengah mati. Tetapi, aku cukup tahu diri untuk tidak langsung menerjang, mencekal leher, kemudian memaksanya untuk menjawab setiap pertanyaanku.
Aku tidak sebarbar orang-orang Troya.
Cukup lama aku tersulut kegelisahanku sendiri. Duduk beringsut tidak nyaman, berdiri, lalu coba berjalan mondar-mandir. Siapa tahu, dengan berjalan kaki, aku bisa menenangkan pikir tanpa benar-benar perlu membungkamnya. Seperti yang genius-genius Yunani biasa lakukan dulu.
Sepuluh, sebelas, perlu dua belas kali mondar-mandir sampai aku mulai tenang. Deretan rencana satu persatu muncul dalam benakku, tahap demi tahap tersusun rapi, aku tinggal menunggu waktu yang pas untuk mengusut tuntas hal ini.
Namun, sebelum itu aku perlu mencari tahu sesuatu lebih dulu. Kebetulan di depan sana ada Bang Alam yang berjalan ke arahku. Dia berseragam futsal, menenteng tas olahraganya di tangan kiri, sementara tangan kanannya membawa bola.
"Bang!"
Aku bisa melihat Bang Alam mengangguk kecil, lalu mempercepat langkahnya.
"Air? Belum balik, Lo?"
"Masih ada urusan sama Kak Agni, Bang."
Kami mengambil duduk, masih di depan gedungnya anak Sains. Bang Alam melempar pandangannya ke arah anak-anak Palaka, lanjut manggut.
"Seriusan Lo mo nungguin sampai mereka kelar? Bakal sampai malem lho, Air!"
"Mau gimana lagi, Bang."
Bang Alam geleng-geleng, sambil berdecak, gayanya sok tua banget.
"Bang, boleh minta tolong enggak?"
"Apaan?"
Mata Bang Alam membesar, alis tebalnya terangkat menuntut jawaban. Tepat, saat pandang kami bertemu, aku tersenyum, dan aku pastikan, Bang Alam bisa menangkap senyumku. Hahh … sepertinya aku harus lebih teliti sekarang.
"Tolong Bang Alam sekarang berdiri di atas bangku, trus ganti baju di situ! Sumpah, Lo bau banget, Bang!"
Seperti biasanya, seperti orang lain yang pernah terjebak dalam kendaliku, Bang Alam nampak linglung awalnya, tapi setelah itu dia bergerak pasti menuruti setiap permintaanku.
"Owh, ok."
Bang Alam melepas sepatu futsal, mengambil seragam batik dari dalam tas, lalu berdiri di atas bangku tempat kami duduk sebelumnya. Sementara aku masih diam memperhatikan. Mengumpulkan bukti, bahwa sumber masalahnya bukan padaku, atau gelang peninggalan Ibu. Tapi, Kak Agni.

KAMU SEDANG MEMBACA
Freesia
Novela JuvenilAir tidak pernah tahu apa itu penolakan. Sejak ibu melingkarkan rantai kecil berliontin biru misterius ke pergelangan tangannya, tidak ada seorang pun yang mampu lepas dari pengaruh Air. Masa-masa remaja Air lewati tanpa secuil kerikil. Semua berj...