10. Refusing

413 61 25
                                    

"Bahasa tidak sekadar bisa kamu gunakan untuk menceritakan kehebatan. Karena bahasa mampu membentuk kehebatan." 

--lastbookairread--

"Air kumpulkan lembar jawab dari deretan kamu ya." 

"Baik, Pak."

Patuh pada perintah Pak Mul, aku berdiri, melangkah ke deret bangku paling belakang untuk mengumpulkan lembar jawab ulangan harian Antropologi hari ini. Hampir semua dari deretanku sudah selesai dengan jawaban mereka, hanya satu yang masih bekerja keras.

"Bentar … sabar … dikit lagi, pleaseee ….!" 

Hanya ada tiga puluh soal pilihan ganda, hanya butuh waktu sekitar dua menit untuk menyalin jawabannya. Tetapi, Hasbi, belum juga merampungkannya. Aku heran, sebenarnya apa yang dipikirkan anak itu. 

"Air?" 

"Iya, Pak Mul, please sebentar lagi. Tolong ngertiin saya, Pak!" 

"Maaf, Hasbi. Kita bukan dalam hubungan untuk mengerti satu sama lain." 

Dari sela sorak anak-anak satu kelas, Hasbi berteriak dari bangkunya, jarinya masih sibuk menulis sementara mulutnya komat-kamit memohon tambahan waktu. Aku hanya bisa membuang napas kesal.

Aku sempat lengah, hanyut tidak terusik bahkan dari riuh kelas yang pagi ini berisik sekali. Ada wajah sedih Bunda pagi tadi saat aku meninggalkannya dalam bungkam. Dalam diam yang aku sendiri lelah menitinya.

Mungkin karena itu, saat Bunda mendesakku untuk menceritakan semua kekhawatiran yang selama ini coba aku tanggung sendiri, aku menurut begitu mudahnya. 

Seingatku tidak ada yang salah dari jawabanku. Jika Bunda menanyakan apa yang membuatku sekacau semalam, maka Rizky lah jawabannya. Rizky yang selama ini mengambil andil paling besar dalam rusaknya hatiku.

"Rizky, Bunda. Enggak bisa ya kalau Rizky enggak tinggal bareng kita?"

Aku menjawab pertanyaan Bunda dengan gamblang. Tidak ada lagi yang ingin aku sembunyikan. Aku tahu, seluruh hidupku adalah milik Bunda dan Ayah, aku berhutang segalanya pada mereka. Namun, pagi tadi, untuk pertama kalinya, aku merasa harus berkata apa adanya, tanpa sedikit pun niat ingin menentang keinginan mereka. 

"Sayang …" Bunda berucap lirih, dia genggam jemariku, lalu mengusapnya lembut. Aku tahu banyak juga yang ingin Bunda sampaikan, tetapi lagi, aku menolak mendengar. 

"Bunda." Aku memotongnya. Lalu coba tersenyum pada Bunda yang dari kedua matanya tergambar penyesalan. 

"Karena tadi Bunda nanya, jadi itu jawaban Air. Bunda jangan khawatir, Bunda sama Ayah berhak bawa siapa aja masuk ke rumah kalian." 

"Air, ini rumah kita. Rumah kamu juga, sayang. Maaf, maafin Bunda karena nggak minta pendapat kamu dulu tentang Rizky." 

Air mata Bunda jatuh. 

Aku tidak tahan melihatnya. Dadaku sakit sekali rasanya. 

"Please, don't cry." 

Bunda mengangguk. 

"Sayang, listen to me. I'll make it clear, ok? Air, anak Bunda satu-satunya, you are the only one. Tidak akan ada yang lain yang bisa menggantikan Air, termasuk Rizky sekalipun. Air paham? Jadi, please, jangan overthinking, jangan mikirin apa pun yang bisa bikin kamu sakit ya, sayang." 

Aku rekam sungguh-sungguh, berharap yang Bunda katakan abadi, tidak akan lesap oleh tumpukan memori lain, tidak akan menguar begitu saja oleh tiupan angin. Janji Bunda, aku genggam erat, tanpa anggukan, tanpa gelengan, pagi tadi hanya senyum ragu yang bisa aku pasrahkan pada Bunda. 

FreesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang