"Aku ada. Aku nyata. Hanya tidak terlihat."
~~Air Telaga~~
Jika hidup adalah sebuah perjalanan, maka yang aku butuhkan sekarang adalah kompas. Tanpa benda itu, mungkin aku akan tersesat. Terjerumus ke jalan buntu, terjatuh ke jurang curam, atau bisa saja tenggelam kedalaman.
Semula, Bunda adalah kompasku. Lama rasanya aku tersesat setelah Ibu meninggalkanku begitu saja. Lalu, Bunda datang. Aku memaksanya mengulurkan tangan hingga aku bisa berpegangan padanya. Memaksanya menuntunku sampai pada tempatku yang sekarang. Semua karena Bundalah penunjuk arahku.
Tetapi, sekarang, aku kembali kehilangan arah. Aku kembali menemukan penolakan, dari Bunda sekali pun.
Apa pun yang coba Ayah dan Bunda bicarakan aku pahami dengan kesakitan. Apa yang mereka coba sampaikan aku tafsirkan sebisaku. Dari garis awal perjalanan kami, memang Rizky lah yang seharusnya ada di posisiku. Jadi untuk apa aku merasa kehilangan jika dari awal aku tidak pernah memiliki?
Bodohnya aku!
Seharusnya dari awal aku sudah bersiap untuk mengembalikan apa yang selama ini aku pinjam. Bukan malah bertingkah seolah aku lah pemilik sebenarnya. Pasti tidak akan sesakit ini rasanya.
Begitu mengiyakan pertanyaan Ayah dan Bunda aku bergegas masuk ke kamarku. Atau akan jadi kamar Rizky nantinya? Aku tidak peduli sekarang, karena saat ini sekuat tenaga aku sedang menahan rasa sakit itu. Rasa sakit yang muncul dari sisa-sisa kata yang keluar begitu saja dari Ayah dan Bunda.
Pikirku dengan mengalihkannya pada kardus-kardus board game baru bisa berhasil. Namun, aku salah. Sebagus apa pun Zombicide Invader pemberian Eyang gagal mengendalikan rasa sakit itu.
Saluran pernapasanku pasti meradang hebat, menyempit, hingga untuk menarik napas saja aku kewalahan. Rasa nyerinya luar biasa, apalagi saat aku kelepasan batuk. Jenis rasa sakit yang paling menyiksa.
"Bunda …."
Aku coba memanggil Bunda, namun, aku yakin Bunda tidak akan mendengarnya. Tidak ada cara lain, aku harus berusaha sendiri, atau aku akan mati saat itu juga. Jadi, sekuat tenaga aku merangkak menuju nakas. Coba meraih laci teratas, inhalerku ada di sana. Sedikit lagi, please ….
"Astaghfirullah … Air!"
Aku menangis.
Air mataku terjatuh tepat saat Bunda tergopoh ke arahku. Lalu Bunda membantuku duduk bersandar pada ranjang. Dia bergerak panik menarik laci teratas nakas, mengambil inhaler, lalu cepat-cepat menyambungkannya pada spacer.
"Sayang … Air, ayo bernapas, ayo sayang …," pinta Bunda, dia pasang spacer lalu menyemprotkan inhaler-nya. Aku mulai bisa bernapas, sedikit demi sedikit jalan udara menuju paru-paruku melebar. Lalu aku mengangguk, tanda bahwa aku baik-baik saja sekarang. Melihat itu Bunda tersenyum dengan matanya yang melengkung sedih, dia mengusap peluh di dahi sekaligus merapikan rambutku.
"Hebat, anak Bunda," ujar Bunda memujiku. Aku tersenyum kecil meresponsnya, tidak lagi berharap banyak pada Bunda. Malam ini mungkin Bunda masih di sini untukku, akankah malam selanjutnya akan begitu? Memikirkannya saja membuatku sesak lagi.
"Hey … hey … sayang, napasnya ayo diatur."
Bunda jelas memperhatikan tarikan napasku. Matanya yang cantik lekat menatapku, rasanya aku ingin berteriak saat itu.
Aku di sini Bunda, aku yang paling membutuhkan Bunda.
"Biar Ayah bantu naik ya, Sayang?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Freesia
Teen FictionAir tidak pernah tahu apa itu penolakan. Sejak ibu melingkarkan rantai kecil berliontin biru misterius ke pergelangan tangannya, tidak ada seorang pun yang mampu lepas dari pengaruh Air. Masa-masa remaja Air lewati tanpa secuil kerikil. Semua berj...