17. The Happiness Paradox

514 74 23
                                    

"Memaksa bahagia akan membuatmu semakin tidak bahagia. Karena bahagia itu pemberian, jadi berdoalah, sambil sesekali meminta pun tak apa." 

--Gajah🐘--


"Lho, kalian saling kenal?" 

Aku melongo melihat Kak Agni mengobrol asyik dengan Mbak Aisy--salah satu karyawan Om Salim yang waktu itu pernah menuding aku sebagai maling. Baru ditinggal ke toilet sebentar, masa iya Kak Agni sudah dapat gebetan baru!

"Mas Air, temennya Agni? Dia adek saya, Mas!"

"Lho kok Mbak kenal, Air?" 

Situasi aneh apa ini? 

Kebetulan seperti ini biasa aku temui wira-wiri di novel fiksi, dan sekarang aku benar-benar terlibat di dalamnya. Maka tidak banyak yang bisa aku lakukan selain tersenyum kikuk sambil menunggu Mbak Aisy menjelaskan. Lagipula bibir tipis Mbak Aisy cocok sekali digunakan untuk menyampaikan hubungan sepele memusingkan seperti ini.

"Mas Air  ini keponakannya Bos Salim. Jadi kalian teman sekolah?" jawab Mbak Aisy sambil menunjukku dengan menu PlayThrough. 

Aku mengangguk, Kak Agni menjawab singkat.

"Iya … mbak!"

Untung ini bukan jam makan siang. PlayThrough cenderung sepi, tidak banyak juga yang tinggal untuk bermain board game, mungkin karena weekdays. Jadi tidak banyak yang harus terlibat, dan menyaksikan interaksi canggungku dengan kakak beradik antik ini. 

Ngomong-ngomong soal bagaimana aku dan Kak Agni bisa berakhir di PlayThrough ….

Begini ceritanya, selepas membagikan reusable bag tadi Kak Agni mengajakku makan siang-padahal sudah sore, padahal perutku sudah keroncongan pakai volume maksimal. Jam empat sore kami baru selesai, pisah jalan dari depan gerbang Saka, Kak Agni memboncengku tanpa bilang-bilang ke mana tujuannya.

Karena itulah pertemuan kami bertiga di sini, sekarang, bisa dibilang takdir. Takdir yang biasa-biasa saja.

 "Weh, ini kafe punya Om, Lo?"

Aku mengangguk. 

"Jadi kapan-kapan gue bisa dapat diskon dong, Air? Diskon Khusus Teman Ponakan Bos!" sambung Kak Agni sambil tertawa lebar sekali. Wajah tegas Kak Agni yang biasa aku lihat di Saka tiba-tiba berubah jadi wajah konyol.

"Kak Agni pilih aja, hari ini gue yang bayar." 

"Serius, Lo?" Mata Kak Agni melebar, cepat-cepat merebut menu dari tangan Kak Aisy yang geleng-geleng kepala, sepertinya tidak habis pikir dengan kelakuan adiknya. 

Sementara Kak Agni sibuk menekuri menu, aku mencari-cari keberadaan Om Salim. Di belakang meja kasir enggak ada, di rak-rak koleksi board game-nya juga enggak ada. 

"Bos Salim hari ini enggak datang, Mas," tukas Kak Aisy, berhasil memangkas rasa penasaranku, bahkan sebelum aku sempat mengutarakannya. 

Kak Aisy berdiri di sebelah kiriku, sedikit serong ke belakang. Merapikan Bluffing Billionaires yang entah bagaimana ditinggalkan pemainnya begitu saja. Padahal Om Salim sudah menuliskan aturan main kafe sibernya dengan jelas di salah satu sisi dinding Play Through, di poin ketiga bunyinya : rapikan kembali board game setelah kalian selesai memainkannya. 

 No excuse! Tanpa terkecuali, aku sekalipun!

Dan sekarang Kak Aisy yang harus merapikannya, mengutip satu persatu kartu, lalu mendesah nelangsa ketika mendapati salah satu kartu Kim Jong Un raib. Bibir tipisnya hari ini lebih merah ketimbang pertama kali aku melihatnya. Hidungnya tidak setajam milik Kak Agni, kembang-kempis, agaknya menahan jengkel karena harus mendapat tambahan kerja. 

FreesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang