"Keluargaku bukan awalanku, tapi aku berharap mereka yang akan jadi akhirku."
-Air Telaga Maya-
Menjadi salah satu bagian dari sebuah keluarga menjadikanku bagian dari sebuah keindahan. Karena keluarga adalah definisi sempurna keindahan. Pesona yang memberiku kekuatan untuk bertahan dalam gelimang cinta asing. Cinta yang sedari awal bukan milikku, tapi bisa aku pastikan pantas untukku.
Aku kelas dua SD saat pertama kali Ayah dan Bunda berkunjung ke tempat tinggal kami -- aku dan banyak sekali saudaraku. Ayah menggandeng Bunda turun dari sebuah mobil besar berwarna hitam yang mengilat.
Aku ingat betul, waktu itu Bunda mengenakan long dress dengan motif floral yang cantik. Gambar kelopak bunganya kecil-kecil berwarna langit senja yang sederhana, aku menyukainya. Sementara Ayah … aku lupa. Karena perhatianku telah sepenuhnya teralihkan pada pesona Bunda. Bunda yang cantik, baik, tinggi, jemarinya lembut, senyumnya indah, dan wanginya menenangkan. Aku ingat setiap detail terkecil Bunda tujuh tahun yang lalu.
Termasuk bagaimana cara Bunda menggenggam jemari teman sekamarku, Rizky namanya. Dari balik daun pintu, takut-takut aku melihat Bunda memohon pada ayah untuk bisa segera mengajak Rizky pulang bersama mereka. Rizky, bukan aku.
Aku hanya anak delapan tahun waktu itu. Tapi aku bisa merasakan bagaimana rasanya tidak diinginkan. Kata Ibu Asuh kami Rizky pintar, dia rajin, ceria, dan yang paling penting Rizky sehat. Tidak sepertiku.
Karena itu, atas saran Ibu Asuh, Rizky menjadi pilihan yang tepat untuk Bunda. Seharian penuh bunda coba mengakrabkan diri dengan Rizky, kemana-mana berdua. Rizky mau makan, disuapi. Rizky ingin minum, dilayani. Rizky belajar, ditemani. Apa-apa, Rizky. Semua-semua, Rizky.
Bunda hanya menoleh padaku sesekali, tersenyum sambil mengangguk kecil, kemudian perhatiannya kembali pada Rizky. Bahkan hanya untuk menarik perhatian Bunda aku rela menangis keras sampai asmaku kambuh, tapi Bunda tidak sekalipun berkeinginan untuk menggendongku.
Aku tahu bunda hanya menginginkan Rizky.
Tapi aku belum tahu apa yang akan terjadi nanti, setelah aku memintanya langsung pada Bunda.
Maka, setelah makan malam, aku mengikuti ke mana pun Bunda berjalan. Sampailah Bunda di kamarku dan Rizky. Bunda duduk di ranjang Rizky, mengeluarkan ponsel, kemudian membacakan cerita bergambar dengan warna-warni yang menarik dari dalam ponselnya hanya untuk Rizky.
Aku beranikan diri mendekat, tanganku dingin, basah gemetaran karena takut.
"Bunda," panggilku, suaraku bergetar, ragu-ragu hingga Bunda tidak bisa mendengarnya.
"Bunda." Sekali lagi, Bunda berhenti bercerita, mata bulatnya penuh tertuju padaku. Bulu matanya hitam lebat, cantik sekali, berkedip bingung, kemudian pandang kami bertemu.
Aku memaksakan senyum, lalu berujar lirih penuh pengharapan.
"Tolong bawa Air pulang, Bunda."
**Freesia**
"Air, sayang … buruan udah ditungguin Ayah."
"Iya, Bunda."
Cepat-cepat aku melepas sarung, jam tangan, juga gelang, menyisakan celana cargo pendek hitam, dengan kaos oblong putih. Bergegas turun karena kata Bunda, Ayah sudah menungguku untuk makan malam.
Ayah benar-benar sudah duduk di kursinya, sibuk dengan berita di gawai sambil sesekali menanggapi ocehan Bunda. Ayahku tampan. Tidak sepertiku yang berkulit Indonesia, kulit Ayah putih, rambutnya lurus kecoklatan, dibelah pinggir lalu disisir ke belakang dengan sedikit pomade. Mata Ayah sipit. Dagunya bersih, agaknya setiap pagi Ayah sempatkan untuk bercukur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Freesia
Novela JuvenilAir tidak pernah tahu apa itu penolakan. Sejak ibu melingkarkan rantai kecil berliontin biru misterius ke pergelangan tangannya, tidak ada seorang pun yang mampu lepas dari pengaruh Air. Masa-masa remaja Air lewati tanpa secuil kerikil. Semua berj...