"Bukan karena darah dan daging kita menjadi ayah dan anak. Maka, jadikan kita ayah dan anak dengan hatimu."-Air Telaga-
Tadi saat aku terlalu asyik berbincang ini itu dengan Risky dalam otakku ada gaung tanya. Terus mengusik, sampai aku lupa menikmati rasanya temu setelah sekian lama berpisah.
Gaung aneh itu berteriak nyaring, agaknya mengolokku yang tidak tahu diri ini. Dengan gampangnya memintaku untuk menerima Risky, lalu berbagi Bunda. Mungkin dengan begitu Ayah juga akan menerimaku, lalu berbagi kasih sayangnya.
Bukan gagasan yang buruk, pikirku. Sampai semuanya menjadi nyata, melompat lincah dari angan, dan harus kuhadapi dengan raga. Bukan lagi dengan bayang-bayang pikiran.
Ayah di sana, di ujung meja makan sambil membaca berita harian dari gawainya. Sepertinya menungguku dengan Risky yang berjalan pincang dari arah anak tangga. Tidak seperti biasanya, mungkin karena ada Risky, jadi Ayah ikut turun untuk sarapan sekarang.
"Gimana, bisa tidur nggak, Ky?" tanya Ayah begitu Risky mendekat. Lalu tanpa diminta, Ayah meletakkan ponselnya untuk membantu Risky menggeser kursi. Kursi di mana aku biasa duduk.
"Kasur Air nyaman banget, Yah. Aku langsung pules."
Mereka tertawa berdua. Meninggalkan aku dengan Bunda yang saling pandang berusaha meredam seribu kata. Bunda tersenyum, sedih sekali, tangan kanannya menepuk kursi tepat di sebelahnya. Aku mengangguk, lalu berjalan memutar untuk duduk di sebelah Bunda.
Satu. Aku kembalikan kursi makan kamu, Ris!
"Tumben Bunda masak nasi goreng?"
"Risky belum biasa sarapan toast."
Itu Ayah! Kesannya Ayah ingin selalu jadi yang pertama dalam semua hal jika ada hubungannya dengan Risky. Lucu sekali!
Aku mengangguk singkat, membuka piring, bersiap mengambil nasi goreng, sebelum Bunda menghentikanku.
"Itu yang masak Bu Sumi, minyaknya banyak banget. Bikin batuk! Air sarapan toast saja ya, Sayang?"
Bunda bertingkah sama anehnya dengan Ayah. Aku menghela napas, menerima roti bakar hangat isi Nutella dari Bunda. Saat itu aku tidak sengaja melihat Risky yang menatap ke arah Bunda dengan mata sedihnya.
Sisa waktu sarapan kami habiskan dengan tenang. Dengan obrolan sederhana antara Ayah dengan Risky, atau Bunda denganku. Canggung sekali. Ayah dan Bunda tidak pernah seperti ini sebelumnya. Jujur, aku khawatir.
"Ehm, ada sesuatu yang ingin Ayah sampaikan ke kamu, Er."
"Iya, Yah?"
Aku deg-degan parah!
"Ayah sama Bunda sudah putuskan, mau adopsi Risky."
Aku menahan napas.
"Dokumennya masih dalam proses, tapi secepatnya …."
"Kenapa, Yah? Bukannya Risky di sini cuma sampai kakinya sembuh, ya?"
Tanpa menunggu Ayah menyelesaikan kalimatnya, aku layangkan protes.
Kemudian semua terdiam. Tidak ada yang menjawab pertanyaanku. Bunda bungkam, tangannya meraih jemariku, dan menggenggamnya hangat.
"Ayah minta maaf, mungkin kesannya Ayah tidak melibatkan kamu dalam keputusan ini. Tapi Ayah sudah cukup lama mempertimbangkannya, Er. Dan ini keputusan Ayah."

KAMU SEDANG MEMBACA
Freesia
Roman pour AdolescentsAir tidak pernah tahu apa itu penolakan. Sejak ibu melingkarkan rantai kecil berliontin biru misterius ke pergelangan tangannya, tidak ada seorang pun yang mampu lepas dari pengaruh Air. Masa-masa remaja Air lewati tanpa secuil kerikil. Semua berj...