5. Interlini

409 60 14
                                    

"Adakalanya kamu menemukan. Adakalanya kamu kehilangan. Tidak ada satu pun yang benar-benar menjadi milikmu."

~Air Telaga~


"Rizky kenapa? Sekarang di rumah sakit mana? Aku ke sana sekarang."

Dari balik pintu ruang kerja, aku jelas mendengar suara Ayah. Bicara dengan entah siapa di ujung sambungan, tentang Rizky dan sesuatu yang terjadi padanya.

Tepat dua tahun setelah Ayah dan Bunda mengangkatku sebagai putra mereka, Ayah memberikan beasiswa pendidikan hingga ke jenjang universitas bagi lima saudaraku di rumah asuh.

Rizky adalah salah satunya. 

Rizky adalah anak emas Ayah, anak yang paling beruntung mendapat perhatian berlebih dibanding ke empat lainnya. Termasuk aku.

Ayah dan Bunda tidak pernah memberitahuku secara langsung. Tetapi, Ayah, dia selalu punya kesempatan untuk menunjukan apa yang dia miliki bersama Rizky, yang tidak pernah aku miliki.

Perhatian Ayah.

Belajar bersepeda dengan Ayah.

Bermain bersama Ayah.

Apa pun itu, jika hubungannya dengan Ayah. Aku selalu merasa haus

Cara Ayah halus, seolah Ayah tidak sengaja melakukannya padaku. Selama ini aku diam, terjebak dalam ragu, dalam praduga, sebenarnya apa yang Ayah inginkan dariku. Haruskah aku keluar dari rumah? Haruskah aku memberikan tempatku pada Rizky?

Banyak pertanyaan yang muncul setiap kali aku dengar Ayah menyebut nama Rizky. Rasanya menyakitkan, rasanya aku tidak pernah pantas menjadi anak Ayah dan Bunda, rasanya sungguh menyesakkan.

Hari ini saja, Ayah sama sekali tidak menanyakan bagaimana keadaanku. Padahal kata Bunda, Ayah tahu kalau aku mendapatkan serangan pagi tadi. Mungkin menyerah akan menjadi pilihan yang mudah. Namun, sayangnya, aku masih mengharapkan lebih. Aku masih sanggup menunggu  dengan rasa sakit yang sama, hingga Ayah benar-benar bisa menerimaku.

 "Er, Bunda mana?" 

Ayah membuka lebih lebar pintu ruang kerjanya, keluar, dan biasa saja saat mendapatiku berdiri tepat di depan ruangannya. Seolah tidak peduli pada perasaanku andai mendengar setiap detail obrolannya.

"Downstairs," jawabku singkat, aku menunduk, barang sedetik pun tidak sanggup jika harus menyaksikan wajah khawatir Ayah untuk orang lain. Bukan untukku.

Ayah membuang napas kasar, lalu melangkah menjauh dariku. Usapan di kepala, pertanyaan apakah aku baik-baik saja, dan ungkapan rasa khawatir lain yang aku tunggu-tunggu berakhir tidak pernah Ayah berikan. Ayah berlalu begitu saja.  Suara langkahnya masih terdengar, juga setiap kata yang keluar saat bertemu Bunda di bawah.

"Bun, Ayah keluar dulu sebentar."

"Kemana, Yah? Udah liat Air? Bunda khawatir deh, Yah."

"Ke toko sebentar. Udah, barusan. Bunda telepon dr. Hayin aja gih."

"Yaudah, Ayah hati-hati."

"Iya, Sayang. Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

Ayah bohong. Ayah tidak mengatakan yang sebenarnya pada Bunda.

~~Freesia~~

Tidak aku sangka bergabung dengan Interlini akan semerepotkan ini. Inginku mangkir, tapi urung begitu ingat perjalananku di Saka masih dua tahun lagi. Aku tidak ingin selama dua tahun ke depan dicap sebagai anak yang tidak bertanggung jawab.

FreesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang