20. Drop It!

396 64 12
                                    

"Yakin patah satu tumbuh seribu? Cewe sih ribuan, tapi kesempatannya yang 1 banding 1000!"

~Air Telaga Maya~


Aku pikir semua sudah berjalan sesuai dengan kemauanku. Paling tidak aku dan Ayah sudah berada di arah yang sama. Kami sama-sama tahu apa yang kami rasakan. Walau apa yang benar-benar aku mau tidak akan pernah menjadi nyata. Tidak apa. 

Lagi pula aku sudah mendapatkan lebih dari yang bisa aku terima. Sekarang tiba giliranku untuk mengembalikan satu persatu ke tempatnya semula. 

Namun, ekspresi sedih Bunda yang menatapku tidak bisa aku hindari. Sekarang, aku di posisi yang salah, dengan sengaja meninggalkan alat sambung hidupku hanya gara-gara naluri remaja kurang perhatian. Harusnya Bunda pasang wajah garang, melotot marah, sambil menjewer telingaku keras-keras.

Bukan seperti ini!

Sepertinya Bunda sengaja membuatku mengaku salah dengan suka rela. Bunda membidik sasaran yang tepat hingga aku tidak bisa lagi mengelak. Sedari awal Bunda menggiring kemampuan bicaraku hanya untuk meminta maaf. Bukan untuk yang lain! 

 "Maaf, Bunda." 

Belum pernah aku temukan pemain watak sehebat Bunda. Tepat setelah aku meminta maaf, Bunda menangis. Bunda tahu betul, maafku adalah kata lain untuk mengaku bahwa aku salah, karena aku dengan sengaja meninggalkan inhaler-ku di rumah Hasbi. 

"Bunda, jangan nangis."

Aku berusaha meraih Bunda, berharap bisa memeluknya dan meminta maaf. Tapi, Bunda menepis tanganku dengan halus. Dia masih berlinang air mata, menatapku dengan wajah berantakan. Hatiku sakit melihatnya.

"Kamu tega banget, bikin Bunda khawatir setengah mati, Air!"

Sekarang aku mulai ikut menangis.

"Maafin Air, Bunda." 

"Kamu … Ayah kamu …." 

Tangis Bunda makin keras, terbata-bata menjelaskan betapa khawatirnya Bunda melihatku dan Ayah setelah kejadian nahas itu. 

"Maaf, Bunda. Maaf." 

Dan saat aku coba untuk memeluk Bunda lagi, Bunda tidak menolak. Aku tidak berhenti meminta maaf, sampai Bunda lebih tenang, dan berhenti menangis. 

"Jangan diulangi lagi, ya sayang?" 

Aku mengangguk sebisanya, masih kewalahan setelah dilanda emosi. 

"Wah, Lo parah, Air! Jadi Lo sengaja ninggalin itu di kamar gue?" 

Mungkin ini yang ke 132 kali aku harus bilang: Hasbi memang sebobrok itu! Dia jagonya kalau urusan menyiram bensin ke kobaran api. Sekali-kali anak itu harus diberi pelajaran budi pekerti dengan metode kekerasan. 

Dan sekarang, berkat Hasbi, semua mata tertuju padaku. Ayah, Om Salim, dan Bunda menatapku tajam. Pikirku mereka menunggu penjelasan--alasan kenapa aku meninggalkan inhalerku di kamar Hasbi, bukan di dalam tasku seperti seharusnya berada. 

Berkat Hasbi, aku berhasil mengingat lagi alasan yang dulunya melukaiku. Anehnya, ingatan itu kembali memberi luka yang sama, rasa sakit yang tidak jauh berbeda. 

Bagaimana Ayah, Bunda, dan Om Salim menatapku saat ini berubah seolah mereka tengah menyudutkanku. Memintaku bertanggung jawab atas celakanya aku. Mata mereka mengeluhkan tentang betapa merepotkannya aku. 

 Tidak tahan, aku pilih berbaring. 

"Air, sayang?"

Aku menggeleng, lalu memejam. Aku tidak bisa menjawab, tidak ada yang sanggup aku utarakan untuk memuaskan rasa ingin tahu kalian. Satu pun, tidak!

FreesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang