18. I am a Finder

545 75 34
                                    

"Ayah bilang tidak pernah suka anak kecil. Tapi tidak sanggup jika harus kehilangan aku. Apa masuk akal?"

-- Er-nya Ayah --


Aku terbangun dengan mata berat luar biasa. Kepalaku sakit, dan yang paling tidak tertahankan adalah nyeri di tenggorokanku. Untuk menelan ludah saja sakit sekali rasanya, aku menangis. Air mataku jatuh ke daun telinga, lalu aku coba seka dengan punggung tangan kiri.

Argh, bengkak.

Sudah berapa lama aku di rumah sakit?

"Bunda?"

Hah! Suaraku tidak keluar. Dimana Bunda? Aku mau Bunda.

Air haus, Bunda ....

Lampu kamar rawatku redup, bisa dipastikan ini masih tengah malam. Bunda mungkin tertidur di sofa, lantas aku coba bangun sendiri. Aku miring ke kiri, tapi terhalang selang infus di tangan kananku. Setelah tangan kiriku bengkak pasti mereka memindahkannya ke tangan kanan.

Begitu berhasil miring, aku melihat Ayah, tidur duduk bersandar pada sofa dan Bunda tidur di ribaannya. Pasti rasanya tidak nyaman. Pasti badan mereka sakit semua.

Aku sedih, sekaligus suka melihat mereka di sini untuk menjagaku.

Ketika akhirnya berhasil duduk, aku mulai tersengal, tenggorokanku semakin sakit, lalu aku terbatuk.

Rasanya seperti mau mati, sakit sekali!

"Er?"

"Astaghfirullah, Sayang!"

Ayah dan Bunda bangun, lintang pukang menghampiriku. Ayah yang pertama menggapaiku, menarikku untuk bersandar di dadanya, mengurut punggung, sementara tangan kanannya merapatkan masker oksigen yang aku kenakan.

"Kok nggak datang-datang sih, Yah?"

Bunda terus menekan tombol darurat untuk memanggil suster jaga. Suara Bunda bergetar, Bunda pasti ketakutan.

"Sa ... kit, Bun ...," rintihku, setiap kali terbatuk sakit sekali rasanya. Aku meremas lengan Ayah kuat-kuat, berusaha sekuat tenaga menahan sakitnya.

"Iya, Sayang. Tahan sebentar ya."

Bunda menangis.

Tidak lama, dua perawat masuk. Bunda dan Ayah menjauh, memberi ruang pada perawat. Lalu yang terakhir aku lihat adalah wajah Bunda yang tersenyum sedih, Bunda menggenggam tangan kiriku sampai akhirnya aku lelap dalam tidur.

~~Freesia~~

Mungkin selama ini aku sibuk mengukur hal-hal yang tidak mungkin bisa aku ukur, dan mempertanyakan sesuatu yang aku pikir tidak semestinya dipertanyakan.

Melelahkan, dan aku tidak akan pernah bisa mendapatkan jawabnya.

Ayah dan Bunda adalah apa yang selalu aku damba. Pemberian Tuhan yang aku paksakan. Harusnya aku bersyukur, bukan malah mendamba lebih.

Aku tahu ini akan terdengar seperti alasan! Tapi aku hanya anak enam belas tahun yang takut kehilangan keluarga. Apa yang bisa aku lakukan dengan wujud remaja ringkih seperti ini? Tidak banyak!

Selain aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menggunakan kemampuanku pada Ayah dan Bunda. Aku tidak bisa banyak-banyak bertingkah, gambaran anak baik yang tidak suka neko-neko terlanjur lekat menempel padaku. Lagipula aku tidak boleh mengecewakan Bunda.

Kebetulan, apa yang menimpaku di toko Ayah kemarin bukan karena aku yang kebanyakan tingkah. Kejadian itu murni kecelakaan. Serius. Siapa sih yang mau kepalanya kejatuhan balok kayu sepanjang itu? Enggak ada, aku pun juga enggak mau.

FreesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang