"Sesuatu yang paling sulit dibagi adalah kasih sayang. Sesuatu yang sulit dipuaskan adalah hasrat untuk disayang."
--Habi - Freesia--
"Maksud, Lo?"
Pertanyaan Risky benar-benar tidak penting untuk dijawab, jadi aku pilih melangkah masuk, dan membiarkan Risky satu langkah lebih jauh dari ambang pintu. Dia belum pergi, sepertinya menunggu penjelasanku.
"Air?!"
"Mas Risky!" panggilku, Risky menatap tepat di mataku lalu aku tersenyum kecut.
"Jangan pernah masuk kamar gue lagi! Jangan pernah!" lanjutku dengan nada tegas penuh penekanan. Risky terdiam, matanya bergerak linglung, kemudian mengangguk bingung.
Namun, sebelum aku sempat menutup pintu kamar, suara Ayah menghentikan semuanya. Termasuk oksigen yang seharusnya aku hirup, seolah berhenti di tawang, aku tiba-tiba sesak begitu mendengarnya.
"Er!"
Ayah berseru padaku dengan tegas. Berjalan mendekat, lalu berdiri di antara aku, dan Risky. Tangan kanannya yang besar menepuk punggung Risky hingga akhirnya Risky tersadar dan mengalihkan perhatian pada Ayah.
"Ya, Yah?"
Aku terbata. Melebarkan pintu kamar, was-was dengan apa yang akan terjadi setelahnya. Khawatir pada apa yang akan Ayah katakan setelah ini.
"Malam ini Risky tidur di kamar kamu. Mulai sekarang kamu harus belajar berbagi!"
Lidahku kelu, membisu kaku. Mataku panas luar biasa, perih berair, rasa-rasanya air mata akan jatuh begitu aku berkedip.
"Enggak perlu ,Yah."
Risky menolak, saat aku harus seratus kali berpikir hanya untuk menolak setiap permintaan Ayah. Risky melakukannya dalam sekali kepak kupu. Ringan sekali!
"Kamu keberatan, Er?"
Ayah bertanya padaku, lagi. Alis tebalnya terangkat, menunggu jawaban. Aku benci situasi ini.
Pada akhirnya, aku hanya bisa menggeleng, lalu melebarkan pintu kamar dengan niat mempersilakan Risky masuk.
"Tapi, Yah?"
Risky kembali bersuara, entah itu benar-benar penolakan, atau sekadar basa-basi. Aku mulai muak.
"Kalau udah beres renovnya, Kamu bisa tidur di kamar kamu sendiri, Ky. Jadi malam ini tidur di kamar Er dulu ya?"
Menggelikan sekali. Ayah coba menjelaskan maksudnya dengan nada lembut yang tidak pernah sekalipun Ayah tujukan padaku. Apa sekarang Ayah sedang memperjelas posisiku?
Risky masuk. Aku ingin menyusulnya sebelum Ayah menarik lengan, lantas menggenggam pergelangan tanganku kuat-kuat, tepat di mana gelang peninggalan Ibu melingkar. Aku meringis sakit, aku bisa rasakan gelang itu menggores kulit tanganku. Perih sekali.
Namun, perihnya tidak sebanding dengan rasa sakit hatiku begitu melihat kedua mata Ayah menatapku sendu, dengan mata kecewa yang menjebakku dalam mala petaka.
"Ayah mohon, Er. Jangan lakukan itu lagi!"
Ayah tahu,
dan bisa aku pastikan, Ayah makin membenciku sekarang.
-Freesia-
"Maaf, Sayang. Maafin Bunda."
Aku tahu betul apa yang akan terjadi di masa depan saat Bunda menuturkan maafnya padaku dengan mata penuh penyesalan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Freesia
Teen FictionAir tidak pernah tahu apa itu penolakan. Sejak ibu melingkarkan rantai kecil berliontin biru misterius ke pergelangan tangannya, tidak ada seorang pun yang mampu lepas dari pengaruh Air. Masa-masa remaja Air lewati tanpa secuil kerikil. Semua berj...