"Kebutuhanku akan seorang ayah tidak jauh beda dengan ketertarikan orang telanjang pada pakaian. Poinnya sederhana, enggak muluk-muluk."**Air**
Jika nanti ada yang menanyakan tentang seberapa besar aku membutuhkan ayah. Aku sudah menyiapkan jawaban yang paling sederhana, yang paling mudah diterima.Kebutuhanku akan seorang ayah tidak jauh beda dengan ketertarikan orang telanjang pada pakaian.
Sederhana. Tidak muluk-muluk.
Mengingat hanya ada ibu dalam memori masa kecilku, harusnya aku tidak terlalu banyak menuntut. Seharusnya aku merasa cukup hanya dengan memiliki seorang Pradipta Chandra sebagai ayah. Walau tanpa pengakuannya.
Harusnya begitu.
Namun, sekadar cukup memiliki bisa semenyakitkan ini rasanya. Tanpa pengakuan ternyata bisa membuatku ketakutan. Lantas, serakah menjadi pilihan yang menyenangkan walau nyatanya tidak pernah bisa memberiku ketenangan.
Ayah adalah figur yang selalu ingin aku raih.
Aku ingin bisa berdiri seperti Ayah. Aku ingin berjalan seperti cara Ayah berjalan. Aku ingin memiliki ekspresi wajah yang sama dengan Ayah. Tetapi, tidak ada satu pun yang berhasil.
Kata Ayah, seseorang harus bisa mendidik dirinya sendiri. Melihat dunia dengan jernih, dan mengincar sesuatu yang besar.
Mungkin karena kwalitas darah kami berbeda. Tidak ada selain keluarga yang bisa aku incar. Tidak ada yang bisa aku lihat dengan jernih selain Bunda dan Ayah.
Maaf Ayah.
Apakah ini artinya aku gagal mendidik diriku sendiri untuk bisa menjadi putramu?
~~Freesia~~
"Perhatian!"
Kak Agni berteriak di depan anak-anak Palaka. Sekarang baru pukul setengah tujuh dan mereka sudah sibuk melakukan entah apa di markas Palaka.
Mendengar instruksi Kak Agni, semua berhenti beraktivitas, tidak ada satu pun yang berani bersuara. Baru, Kak Agni melanjutkan maksudnya.
"Kalian dapat bala bantuan satu lagi hari ini."
Suara Kak Agni lantang, dia bicara sambil menyunggingkan senyum licik.
"Ini Air, anak kelas 10. Dia bisa memperkuat bagian humas kita, selain itu bokapnya kaya raya. Lumayan, bisa kita jadikan sponsor."
Kaget, sumpah!
Anggota Palaka yang lain bersorak. Beberapa meneriakkan tentang next projects mereka yang sepertinya bakal aman. Sementara yang lain bertepuk tangan kesetanan.
"Sssttt!!"
Semua diam hanya dalam hitungan detik.
"Air, hari ini kita mau bagiin reusable bag ke komplek perumahan depan Saka. Jadi sekarang Lo bantuin yang lain stempel tasnya, dan nanti pulang sekolah kita kumpul di lapangan trus cabut bareng."
Aku cuma bisa manggut sekali, lalu jalan ke kumpulan lima anak yang sibuk membubuhkan stempel Palaka di ujung tas-sebagai identitas sispala Saka sekaligus bukti aksi mereka untuk lingkungan.
Aku duduk di sebelah Putra, dia anak kelas sepuluh sains. Kata Putra, untuk tiga bulan ke depan Palaka hanya akan disibukan dengan kampanye mengurangi sampah plastik. Sasaran pertama mereka adalah ibu-ibu rumah tangga yang paling sering menggunakan kantong plastik.

KAMU SEDANG MEMBACA
Freesia
Novela JuvenilAir tidak pernah tahu apa itu penolakan. Sejak ibu melingkarkan rantai kecil berliontin biru misterius ke pergelangan tangannya, tidak ada seorang pun yang mampu lepas dari pengaruh Air. Masa-masa remaja Air lewati tanpa secuil kerikil. Semua berj...