Keadaan berubah haru, tangis tumpah ruah saat Jisoo menampakkan diri di hadapan keluarganya lagi. Gadis bersurai hitam kecokelatan itu tak henti-hentinya mengeluarkan air mata sejak sampai di kediaman yang ditempati orang tuanya. Masih menangis dan terus saja menangis di dalam pelukan sang ibu.
"Aku rindu kalian....... Aku rindu kalian" lirih Jisoo— merasa dirinya seperti kaset rusak yang terus-menerus mengulang kalimat yang sama. Tapi siapa peduli? Toh kerinduannya memang sebesar itu.
Kini Orang tua dan adiknya tinggal di salah satu kediaman milik Sehun, Rumah yang mungkin tak sebesar Rumah lama mereka namun sangat nyaman dan layak untuk ditinggali.
Bahagia sekaligus sedih—Jisoo merasakan keduanya, Ia Bahagia lantaran kerinduan akan keluarganya telah terlampiaskan, tetapi juga Sedih karena mendapati kondisi mereka yang tidak sebaik dulu.
Ayahnya mungkin berusaha untuk terlihat baik-baik saja, namun lingkaran hitam dibawah matanya sudah cukup menandakan bahwa Beliau dilanda stress berat. Dan ibunya.... Tubuh wanita paruh Bayah yang ringkih itu terlihat lebih kurus dari yang Jisoo lihat terakhir kali.
Kehilangan rumah dan perusahaan tentu menjadi pukulan terberat bagi keluarganya. Sungguh Jisoo tidak sanggup membayangkan kesulitan-kesulitan seperti apa yang mereka lalui selama ini.
"Sudahlah, Jangan menangis lagi. Kita sudah bersama sekarang, Apa lagi yang kau tangisi?" Ujar Sandara mengelus Surai Jisoo dengan penuh sayang, berusaha menenangkan tangisan putrinya.
"Maafkan Aku karena tidak bisa berada di samping kalian pada masa-masa sulit seperti ini, Aku memang tidak berguna" Suara serak Jisoo yang sarat akan penyesalan tersebut nyaris tertelan isakanya.
"Stttt, Apa yang kau katakan nak? Itu bukan salahmu. Tenanglah.... lagipula kau bisa lihat kan? Kami baik-baik saja" Kali ini Jiyong membuka suara, memandang putrinya dengan sorot mata pedih. Oh Bagaimana bisa putrimu begitu memikirkan mereka disaat dirinyalah yang paling menderita di sini, Jisoo menanggung beban atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Jiyong menyesal. Penyesalan yang ia rasakan bahkan nyaris membuat ia membenci dirinya sendiri. Sebagai kepala keluarga—Ia Gagal melindungi keluarganya. Terlebih Sebagai Seorang Ayah, Ia pun merasa Gagal menjaga putrinya.
Jiyong merasa menjadi makluk paling tidak berguna di muka bumi ini.Memalingkan wajah, Ia mengambil kesempatan untuk mengusap air di pelupuk matanya.
"Jangan menyalahkan dirimu kak, Semua ini salah si iblis itu! Huh... Aku benar-benar benci dia" Jennie yang baru saja menuruni tangga setelah selesai dengan tugas menyiapkan kamar, kini ikut bergabung bersama
ibunya, mendekap Jisoo penuh sayang."Ohh..Aku tidak percaya bisa melihatmu lagi kak, Kupikir Devil itu akan membawamu pergi ke tempat yang jauh sehingga kami tidak bisa bertemu dengan mu lagi" Gumam adiknya itu sambil menggesek-gesekan pipi gembul miliknya pada pipi tirus Jisoo dengan manja. Sedetik kemudian wajahnya terangkat, memandang Jisoo dengan pandangan menelisik dari ujung rambut hingga kaki. Seperti hendak mencari-cari sesuatu.
"Dia tidak menyakiti kakak kan?"
Tanya Jennie penuh selidik, Wajahnya yang berubah serius tmalah membuatnya tampak menggemaskan.
"Katakan padaku jika dia menyakitimu atau melayangkan tanganya padamu kak, Karena aku tak akan segan-segan menendang selangkanganya jika bertemu"Perkataan sarat candaan disertai gerakan kaki yang dilakukan Jennie sontak saja mengundang gelak tawa seluruh penghuni ruangan tersebut, terkecuali Jisoo yang hanya menyunggingkan senyum miris.
Ahh, Suasana keluarganya yang hangat. Jisoo amat sangat rindu saat-saat seperti ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prisoner
FanficWARNING! : 21+ Gadis itu menjalani hari-harinya dengan tentram bersama keluarga yang lengkap dan tentunya menyayanginya. Semua berjalan baik-baik saja dan terkendali sampai kepulangan seseorang dari masa lalu kembali membangkitkan ketakutan yang tel...