BAB 2KIRANA mengetuk-ngetuk kakinya di aspal sambil bersandar di tiang halte. Gara-gara mobil Kirana yang masih dibengkel, selama seminggu ini mau tak mau ia harus menunggu di halte dan menyisihkan uang saku untuk ongkos naik bus yang terbilang tidak murah.
Kirana bingung. Kirana harus banget punya kakak yang sama sekali nggak bisa membantu, ya? Setiap Kirana minta jemput, alasannya ya kalau nggak ketiduran, pasti lagi nongkrong sama teman-temannya. Padahal kalau Bagas jemput, Kirana bisa memanfaatkan ketampanan kakaknya itu dengan sombong ke satu sekolahan, "gue dijemput cogan, lho!"
Bercanda, kok. Bagas nggak semenyebalkan itu juga. Bagaimana pun, Bagas orang yang paling peduli kepada Kirana. Kalau Kirana sudah menunjukkan tingkah yang sedikit saja berbeda dari biasanya, Bagas orang pertama yang menyadari hal itu dan akan berinisiatif menanyakannya. "Ada apa? Mau cerita?"
Nggak cuma berperan sebagai kakak, Bagas juga terkadang bisa berperan sebagai ayah untuk Kirana.
Hari semakin sore. Untuk yang keseribu kalinya, Kirana kembali melirik arloji yang melingkar di tangan kirinya. Tapi kali ini, matanya melotot ketika dilihatnya jarum jam sudah di antara angka empat dan lima, sedangkan setahu Kirana, bus yang ke arah rumahnya terakhir lewat jam empat.
Terus Kirana pulangnya gimana, ya Allah.
Ini gara-gara kebiasaan Kirana yang suka ketiduran sampai akhirnya meninggalkan ponselnya dalam keadaan baterai yang sudah sekarat. Akibatnya, sekarang ponselnya mati kehabisan baterai dan Kirana tidak bisa pesan ojek online.
Kirana menghela napas pasrah. Merasakan perutnya lapar, Kirana memutuskan membeli roti di minimarket sebelah halte. Ia akan sekalian mencari bantuan di sana. Mungkin masih ada anak-anak sekolahan Kirana yang masih berada di sana dan bersedia membantu. Atau kalau tidak, mbak kasir juga boleh.
Kirana masuk ke dalam dan langsung ngacir ke rak roti. Karena saat itu antrean sedang ramai dan Kirana sudah mulai lelah, Kirana langsung mengambil asal satu bungkus roti dan segera menempatkan posisinya di antrean sebelum bertambah panjang. Sampai tiba waktunya ia membayar, ia baru sadar.
Uang sakunya hanya bersisa sepuluh ribu rupiah.
Ah, tidak apa. Pasti cukup kok, untuk sebungkus roti ini. Soal bagaimana ia pulang ke rumah, ia akan meminjam telepon mbak kasir dan meminta mama untuk menjemputnya.
"Totalnya jadi dua belas ribu rupiah, Kak."
YA TUHAN.
Kirana mau tenggelam aja rasanya.
"Kak...?"
Sekali lagi, mbak kasir itu memanggil Kirana. Dia menatap bingung Kirana yang kasak-kusuk mengacak-ngacak isi tas dan sakunya.
Kirana mendongak, tersenyum getir menatap mbak kasir—mencoba menenangkan. "Sebentar ya, Mbak."
Kirana melirik sedikit ke belakang. Tubuhnya semakin lemas ketika mengetahui antrean semakin panjang. Beberapa di antara mereka bahkan mulai memprotes karena Kirana menghentikan antrean terlalu lama.
Kirana meringis, jantungnya berdegup kencang. Ia kembali memeriksa kantung-kantung kecil dalam tasnya dengan air muka cemas, berharap menemukan selembar dua ribu yang biasanya tak sengaja terselip di sana.
Ayolah!
Kenapa di saat-saat seperti ini malah nggak ada uang yang nyelip di tas!"Kak? Maaf, antreannya...."
Kirana gelagapan. Tangannya berkeringat dingin. Otaknya terus berputar memikirkan apa yang harus ia lakukan. Lalu dengan gemetar, ia akhirnya mengangkat suara.
"Ah, jadi gini, Mbak. Uang saya kur—"
"Saya yang bayarin dia, Mbak!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Teluk Alaska [Hiatus]
Teen FictionLove Different Religion. Kirana dan Gabriel terjebak di status itu. Saling mengingatkan kewajiban yang berbeda satu sama lain. Saling mendoakan dengan cara yang berbeda satu sama lain. Mungkin memang terdengar sepele. Namun jika ini terjadi pada kal...