BAB 17
KIRANA celingak-celinguk di tengah-tengah kantin yang cukup ramai siang itu. Ia menyapu pandangannya ke penjuru kantin, sampai akhirnya matanya menangkap sosok laki-laki yang sedang duduk sendirian di salah satu meja kantin. Kepalanya menunduk sambil memainkan ponselnya. Kirana tersenyum, dengan cepat ia mendekati meja laki-laki itu dan duduk di hadapannya.
"Hai, El."
Laki-laki yang dipanggil 'El' itu mendongak, kemudian bibirnya melengkungkan senyum lebar saat menatap wajah Kirana. Ia meletakkan ponselnya. "Hai."
"Maaf ya lama, tadi nganterin Dea ke ruang padus dulu," kata Kirana. Matanya menatap dua piring nasi goreng pedas di meja dengan tatapan berbinar. "Asikkk, ditraktir nih?"
Gabriel terkekeh. "Tapi lo harus ganti nanti."
Kirana mengernyit, pipinya mengembung besar karena terisi penuh oleh nasi goreng pedas yang baru ia suap tadi. "Kok gitu?"
Gabriel mengangguk acuh. "Gantinya gak pake uang. Tapi lo harus ikut gue malam ini."
"Ke mana?" tanya Kirana.
"Oh iya, gue belum ngasih tau lo, ya?" Gabriel balik bertanya. "Daniella ulang tahun hari ini, dia minta dirayain nanti malem bareng lo," jelasnya sambil terkekeh.
Mata Kirana membulat besar. "Oh ya? Ulang tahun yang keberapa?"
"Yang keenam tahun, sebentar lagi dia masuk SD."
"Wah! Kalo gitu, kadonya harus yang spesial biar dia semangat masuk sekolahnya!" seru Kirana. "Pulang sekolah temenin gue cari kado, ya. Gue gak tau kesukaan Ella apa."
"Gak usah repot-repot, Ran. Ella gak ngarepin kado, kok. Asal lo dateng, itu udah cukup banget buat dia," tolak Gabriel. Ia menyeruput sisa-sisa es teh manisnya. "Jam tujuh malem siap-siap ya, gue jemput. Gak usah cantik-cantik."
"Ye, kan gue emang selalu cantik!" Kirana menjulurkan lidahnya. "Di mana acaranya? Mama pasti khawatir kalo gue pergi malem-malem."
"Di rumah gue aja, kok. Gak terlalu mewah, sih," kata Gabriel. "Nanti biar gue yang izin ke nyokap lo."
Kirana nyengir lebar, jempolnya terangkat. "Oke!"
***
Mama menggeleng-geleng memperhatikan putrinya yang terus memilah-milah gaun tanpa henti. Padahal, sekarang baru pukul lima sore, sedangkan Gabriel menjemputnya masih dua jam lagi.
"Ya ampun, Ran. Acaranya kan jam tujuh, masih lama!" dumel mama, tidak tahan melihat kamar Kirana yang sudah seperti kapal terkena bom sekarang. Lihatlah, baju berserakan di mana-mana, bahkan Kirana sudah mengeluarkan seluruh isi lemarinya.
Kirana tidak menggubris, ia malah menunjukkan dua pasang gaun ke mamanya. "Mama, yang mana?"
Mama memperhatikan kedua gaun yang panjangnya sama-sama semata kaki itu, kemudian melotot. "Ngapain ke acara ultah make gaun ginian? Kamu mau keserimpet di depan Gabriel? Nggak, nggak!" Lalu detik berikutnya, malah mama yang sibuk memilah-milah gaun.
Kirana cemberut, tapi kemudian ia menyadari gaun pilihannya memang berlebihan, setelah ia menatap sekali lagi kedua gaun tersebut. Akhirnya, Kirana membiarkan mamanya yang kali ini sibuk memilahkan gaun untuknya. Selera mama kan, lumayan.
"Ran!" panggil mama semangat. Mama berbalik badan, tangannya mengangkat gaun hijau polos selutut dengan butiran permata asli di bagian dadanya. "Gimana?"
Kirana mengamati seksama gaun tersebut, sebelum akhirnya mengangguk menyetujui. Pilihan mama memang tidak pernah salah.
Kirana menerima gaun itu, kemudian melirik jam beker di atas nakas. Matanya terbelalak begitu mendapati jarum jam sudah berada di antara angka lima dan angka enam. Waktu satu setengah jam itu mungkin memang waktu yang sangat cukup, tetapi kalau untuk manusia spesies Kirana begini, waktu satu setengah jam itu adalah waktu yang menipis banget. Iyalah, Kirana mandi kayak orang naik haji, sih.
Setelah selesai bereksperimen di kamar mandi, Kirana langsung memakai gaun pilihan mama itu dan merias penampilannya sebaik mungkin. Biar ini hanya pesta ulang tahun Ella, si gadis kecil, tetap saja, Kirana harus menunjukkan penampilan terbaiknya agar tidak memalukan nantinya. Lagipula, pasti Ella akan senang kalau melihat kakak iparnya—eits? Kakak ipar?! Kirana mikir apa, sih?!
Kirana memandangi dirinya di cermin tepat saat jarum jam menunjuk angka tujuh. Riasan di wajahnya memang tidak terlalu tebal, tapi Kirana tetap saja tidak percaya diri. Padahal Gabriel sudah datang sejak sepuluh menit yang lalu.
Kirana menoleh, menatap mama di belakangnya, sambil meringis. "Make up-nya gak terlalu tebel, kan? Gaunnya gimana? Warnanya gak terlalu terang?"
Mama tersenyum. "Nggak, cantik kok. Gaunnya gak terlalu terang, kontras dengan kulitmu yang putih. Udah, sana turun ke bawah. Gak enak, Gabriel udah nungguin dari tadi!"
Kirana mengangguk. Ia mengambil tas selempang mininya, kemudian memakai high heels hijaunya. Sekali lagi, ia memandang dirinya di cermin, memastikan tidak ada yang salah dari penampilannya, sebelum akhirnya ia bergegas keluar kamar dan menuruni tangga.
Mata Kirana menatap sosok Gabriel yang sudah duduk menunggu di ruang tamu. Dengan kemeja putih dan celana hitam, juga rambut yang ditata lebih rapi dari biasanya, cowok itu terlihat dua kali lebih tampan. Kirana sampai gugup menatapnya.
"Hai, Ran? Siap?"
Kirana mengerjap saat Gabriel menyapanya duluan. Kirana hanya tersenyum sambil mengangguk, kemudian berjalan keluar rumah mendahului Gabriel.
"Kan dibilang gak usah cantik-cantik."
Suara berat Gabriel yang diselingi dengan tawa kecil berhasil membuat jantung Kirana berdebar lima kali lebih cepat. Kini Gabriel berhasil menyejajarkan langkahnya dengan langkah Kirana, sehingga kini mereka berdua berjalan beriringan dengan jarak yang cukup dekat. Kirana berusaha untuk tidak menoleh, sedangkan Gabriel dengan santainya malah bersiul sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana.
"Kan emang nggak," jawab Kirana singkat, tanpa menoleh. Ia berusaha mengontrol air mukanya. Ayolah pipi, jangan tunjukkan bahwa kamu sedang tersipu!
"Nggak gimana, cantik banget gitu," sahut Gabriel. Gabriel menoleh, menatap Kirana sambil tertawa kecil. "Pipinya gak usah merah gitu."
Kirana menundukkan kepalanya, ia merutuk di dalam hati berkali-kali. Sial sial. Sepertinya Kirana terlalu banyak memberi blush on pada pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teluk Alaska [Hiatus]
Teen FictionLove Different Religion. Kirana dan Gabriel terjebak di status itu. Saling mengingatkan kewajiban yang berbeda satu sama lain. Saling mendoakan dengan cara yang berbeda satu sama lain. Mungkin memang terdengar sepele. Namun jika ini terjadi pada kal...