BAB 16
MALAM itu di sebuah kamar bernuansa biru cerah dengan gradasi putih di atapnya, Kirana menatap Dea dengan penuh harap. Ia baru saja selesai "berkonsultasi" dengan Dea. Saat jam sudah melewati waktu Isya, Kirana langsung berteriak di telepon menyuruh agar Dea menghampirinya, mengingat gadis itu sangat ahli dalam hal ini. Tentu saja Dea mengomel-ngomel panjang lebar. Lagi asyik-asyik nonton drakor malah diganggu.
Di atas kasur berukuran king size itu, Kirana dan Dea duduk sila dengan saling berhadapan. Sepiring besar berisi kentang goreng itu kini sudah tandas, tentunya oleh Dea seorang. Kirana tahu persis, Dea hanya akan bisa berbicara serius kalau perutnya sudah diisi dengan makanan.
"Jadi, gimana?" tanya Kirana. Kirana mengambil bantal birunya dan menaruhnya di kedua paha. Ia menopang dagu. "Gue... harus apa?"
"Kenapa lo saling diem-dieman sama Gabriel setelah kejadian malam itu?" tanya Dea. Kini raut wajahnya mulai serius.
"Gabriel langsung ngilang abis ngomong itu, De. Nggak ada chat dari dia selama dua hari ini. Gue juga ngerasa kegantung."
"Kenapa lo gak berinisiatif buat hubungin dia duluan? Basa-basi gitu, tanya apa maksudnya kalimat yang dia ucapin itu."
Kirana mengernyit. "Kan gue udah tau, De."
"Ya pura-pura, Ran! Ih, gak peka amat sih!" Dea sewot, lelah menghadapi Kirana yang terlalu polos. Terlalu polos sampai kelihatan banget begonya.
Kirana mengendikkan bahunya. "Gue bingung mulainya gimana. Lo tau aja gue tipe cewek yang kayak gimana. Gue gak jago soal ginian."
Dea menghela napas. Ia membenarkan posisi bantal di pangkuannya. "Lo mau tau kenapa Gabriel gak hubungin lo duluan?"
Kirana tidak menjawab, hanya bergumam tanda menyahuti.
"Karena Gabriel takut lo ngerasa risih. Gabriel takut lo jadi menghindar. Kenapa dia mikir gitu? Karena dia tau, tempo lalu lo sempet jauhin dia karena lo liat patung salib di kamar Gabriel, pas lo main ke rumahnya."
Kalimat terakhir dari Dea membuat Kirana terhenyak. Kirana bungkam, begitu pun dengan Dea. Suasana mendadak hening sejenak. Kirana mengusap wajahnya, resah.
"De, gue...." Kirana diam, tidak melanjutkan ucapannya karena memang tidak tahu apa yang harus ia katakan. Kirana menggigit bibirnya. Rasa bersalah menjalar di tubuhnya. Kirana sempat mengecewakan Gabriel. Rasanya Kirana ingin cepat-cepat pergi ke rumah cowok itu dan segera meminta maaf.
"Boleh gue tau, kenapa lo menjauh waktu itu?"
"Gue... gue inget bokap gue. Gue ngerasa dosa banget kalo gue—" Kalimat Kirana menggantung, tidak dilanjutkan lagi saat ia baru menyadari kalau kalimatnya barusan nerupakan kalimat yang tidak seharusnya diucapkan. Bahkan Dea sampai menatapnya terkejut.
"Jadi lo merasa Gabriel pembawa dosa buat lo?" tanya Dea. "Gabriel rajin ibadah meskipun tempatnya beda sama kita. Gabriel gak pernah kasar ke cewek. Gabriel selalu nurut sama nyokap bokapnya."
Kirana menggigit bibirnya. Ucapan Dea sepenuhnya benar. Apa salahnya kalau Gabriel bukan penganut Islam? Kirana memang selalu menilai orang lain dengan seenaknya.
Kirana jadi mengingat-ingat. Cowok itu selalu terlihat biasa saja padanya. Tidak menunjukkan kekecewaan dan amarahnya. Kirana jadi tambah merasa bersalah. Kalau Kirana berada di posisi Gabriel, Kirana pasti akan merasa terluka juga.
"Kali ini, Gabriel merasa lo menghindar lagi dari dia," lanjut Dea, setelah beberapa saat hening. "Kalo emang lo mau menjauh pas tau dia non muslim, kenapa sekarang lo malah mendekat lagi ke dia? Kenapa lo malah terima-terima aja chat dan telepon dari dia selama ini? Dan sekarang giliran dia nyatain perasaannya ke lo," Dea menjeda sebentar, "kenapa lo malah menjauh lagi?"
Kirana membungkam. Tidak tahu harus berkata apa lagi. Kalimat Dea jelas sangat membunuhnya. Ia kehabisan kekuatannya sekarang.
Ia mengaku ia salah.
Ia terlalu naif.
Tidak seharusnya ia menjauh dari Gabriel hanya karena agamanya.
Tidak seharusnya ia mempermainkan Gabriel seperti ini.
Tidak seharusnya ia menilai Gabriel dengan seenaknya.
Tidak seharusnya....Banyak kata "tidak seharusnya" yang berkelabut di kepala Kirana. Banyak kata "tidak seharusnya" yang harus Kirana ubah menjadi kata "seharusnya".
Dea menatap Kirana yang kini tertunduk. Wajah lelah dan bersalah tercetak pada gadis di hadapannya itu. Bahkan matanya kini mulai berkaca-kaca. Ah, Dea jadi tidak tega. Apa tadi ia berkata terlalu keras? Dea memang terlalu emosional.
"Ran." Suara Dea melembut. "Sorry."
Kirana mendongak, menggeleng cepat. "Gue yang harusnya minta maaf ke lo dan Gabriel. Kenapa gue permasalahin hal kecil kayak gini," kesal Kirana sambil merengut. "Gue... bakal coba terima Gabriel."
"Bukan karena omongan gue, kan?" Dea melotot. "Ikutin kata hati lo, Ran. Jangan bohongin perasaan lo sendiri."
"Ya nggak, lah!" Kirana tertawa. "Udah ah, kenapa jadi melankolis begini, sih?"
"Cengeng lo," ejek Dea. Dea merentangkan tangannya, membuat Kirana langsung menghambur ke dalam pelukannya. Dielusnya dengan lembut punggung sahabatnya itu. "Gue yakin, Gabriel yang terbaik."
Kirana tersenyum di balik punggung Dea. Ia berucap penuh harap. "Tapi menurut lo, ada kemungkinan nggak sih, kalau Gabriel bener-bener serius sama gue dan kita bisa selalu bareng?"
Dea diam sejenak, bersamaan dengan tangannya yang berhenti mengelus punggung Kirana. Sebelum akhirnya Dea tersenyum tipis dan menjawab dengan ragu.
"Kita nggak ada yang tau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Teluk Alaska [Hiatus]
Teen FictionLove Different Religion. Kirana dan Gabriel terjebak di status itu. Saling mengingatkan kewajiban yang berbeda satu sama lain. Saling mendoakan dengan cara yang berbeda satu sama lain. Mungkin memang terdengar sepele. Namun jika ini terjadi pada kal...