BAB 5SIANG ini setelah pulang sekolah, Kirana tidak langsung pulang ke rumahnya. Rumahnya akan kosong sampai nanti malam, jadi ia memutuskan untuk menghabiskan waktunya di rumah Dea.
Dea meninggalkan Kirana sebentar untuk berganti baju dan menyiapkan makanan. Kirana hanya mengangguk, lalu duduk selonjoran di atas karpet beludru, tubuhnya disandarkan ke kaki sofa. Matanya terus menyapu sekeliling penjuru ruangan ini. Ternyata rumah Dea sangat luas, mungkin luasnya melebihi luas rumah Kirana. Namun, suasananya terlihat sepi. Tidak ada tanda-tanda ada penghuni lain di sini selain dirinya dan Dea. Mungkin, orangtuanya sedang bekerja dan kakak laki-lakinya belum pulang sekolah. Kirana tahu dari cerita Dea, kakaknya Dea merupakan kakak kelas yang bisa dibilang sebagai primadona di sekolah Kirana. Kirana jadi berharap kakaknya Dea tidak akan pulang selama Kirana bermain di sini. Bukan kenapa-kenapa. Bisa-bisa Kirana mati gaya di sini. Apalagi kalau sikap kakaknya Dea jutek dan dingin, seperti Gabriel.
Bisa-bisa Kirana gak selamat di sini.
Sedang asyik-asyiknya tidur-tiduran sambil menggulir Instagram, sebuah tangan menyodorkan sebotol soft drink padanya. Kirana mendongak. Ternyata Dea. Gadis itu juga membawakan setoples keripik keju yang langsung diterima Kirana dengan senang hati.
Dea menempatkan pantatnya di sebelah Kirana. Ia mengambil laptopnya yang lumayan besar, mengutak-atiknya sebentar, kemudian menatap Kirana yang sedang asyik mengunyah keripik keju. Kirana mendongak, balas menatap Dea dengan mata berbinar.
"Ran, lo mikir hal yang sama, nggak?" tanya Dea.
"Nonton drakor?" tebak Kirana langsung.
Dea tersenyum lebar. "Exactly!"
Tak lama, dua gadis pecinta drama Korea itu akhirnya sudah anteng. Tidak ada lagi obrolan. Selama film berlangsung, tidak ada yang bersuara, kecuali suara dari laptop dan suara kunyahan keripik.
Setelah beberapa menit menonton, Dea menoleh kepada Kirana yang berada di sebelahnya. Gadis itu masih fokus menonton, sedangkan perut Dea sudah berteriak meminta agar segera diisi. Dea melirik toples keripik keju di sebelahnya. Isinya sudah tandas tak bersisa. Dea meringis. Ditoelnya paha Kirana, membuat gadis itu bergumam tanpa menoleh.
"Ran, gue laper..." rengut Dea. "Lo nggak laper?"
Kirana menoleh, menatap Dea horror. Bahkan Dea sampai menggigit bibirnya, ngeri.
"Lo baru nanyain, De?" tanya Kirana sambil melotot. "Gue nahan laper dari tadi, tau! Gak peka, dasar!"
Dea menyengir lebar. Tangannya terangkat, membentuk huruf V, tanda meminta damai. Baru saja ia akan meraih ponselnya untuk memesan makanan, suara bel rumah terdengar.
Ting tong.
Kirana dan Dea otomatis saling bertatapan. Kirana menatap Dea dengan tatapan, 'mampus, mampus!' sedangkan Dea membalasnya dengan cengiran seolah mengatakan, 'santai aja'.
Dea sedikit berlari untuk membukakan pintu. Entah siapa yang datang, tapi Dea terlihat menyengir kegirangan. Kirana hanya bisa menunggu di ruang tamu dengan harap-harap cemas. Semoga saja bukan kakaknya Dea. Semoga itu hanya tukang sampah, atau tukang tagih listrik!
Dea kembali dengan dua box pizza di tangannya. Pizza. Makanan kesukaan Kirana dan Dea. Kirana langsung lega. Benar, kan? Itu bukan kakaknya Dea. Itu hanya tukang pizza, mengantarkan pizza yang mungkin dipesan orangtuanya Dea untuk mereka berdua karena mereka memang sudah tahu bahwa Kirana akan datang ke sini.
"Tumben kakak gue baik, beliin pizza segala," kata Dea sambil tertawa, ia mulai mengambil satu slice pizza dan memakannya. "Kakak gue ada di depan..."
Tubuh Kirana menegang.
"...tapi santai aja, dia bakalan di kamar mulu, kok."
Kirana lega.
Setidaknya, ia tidak akan berlama-lama bertemu dengan kakaknya Dea. Ia hanya perlu tersenyum saat cowok itu menampakkan wajahnya dan menatapnya, lalu, selesai kan?
Kirana mengambil satu slice pizza-nya dan melahapnya dengan tenang. Sebelum sebuah kejadian tak terduga terjadi di detik berikutnya.
Seorang laki-laki datang, melangkah masuk ke dalam dan menampakkan wajahnya yang terlihat sangat tidak asing bagi Kirana.
Itu...
Bukan kakaknya Dea, kan?
Bisikan Dea membuat Kirana terpaku. "Ran, itu kakak gue yang waktu itu gue ceritain. Ganteng, kan? Namanya Gabriel."
Kirana tersedak.
***
Malam ini berakhir dengan Kirana yang diantar pulang dengan Gabriel. Dea berhasil membujuk kakaknya itu untuk mengantarkan Kirana, dengan alasan sudah terlalu malam dan anak perempuan tidak baik keluar sendirian malam-malam. Halah, itu hanya alibi Dea saja. Dea pasti sengaja, mentang-mentang Kirana tadi keceplosan memuji ketampanan Gabriel di hadapan Dea.
"Gayanya aja gak mau dianter, tapi malah betah duduk di motor gue."
Suara Gabriel memecahkan lamunan Kirana. Kirana tersentak. Matanya membulat sempurna ketika ternyata motor Gabriel sudah berhenti di depan gerbang rumahnya. Cepat-cepat, Kirana melepas helm dan turun dari motor.
"Makasih, Kak. Maaf ngerepotin terus," ucap Kirana sambil tersenyum canggung, tangannya mengembalikan helm itu kepada Gabriel.
"Kalo lo yang ngerepotin sih, gapapa."
"Eh?"
Kirana melongo. Sedangkan Gabriel acuh, ia menerima helm dari Kirana, lalu menyimpannya di atas tangki motor. Niatnya ingin segera pulang tertunda ketika dilihatnya wanita berumur kepala tiga sedang berdiri di ambang pintu. Itu mama Kirana.
Karena itu, Gabriel langsung turun dari motor, kemudian menghampiri mama Kirana dan menyalaminya.
"Pulang dulu, Tante!" pamit Gabriel sekali lagi, setelah sudah siap duduk di atas motornya. Setelah mendapat anggukan dan seulas senyum dari mama Kirana, Gabriel menyalakan mesin motor. Tapi sebelum motornya melaju, Gabriel menoleh kepada Kirana.
Dan tanpa ada yang tahu, Gabriel tersenyum di balik helm full face-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teluk Alaska [Hiatus]
Teen FictionLove Different Religion. Kirana dan Gabriel terjebak di status itu. Saling mengingatkan kewajiban yang berbeda satu sama lain. Saling mendoakan dengan cara yang berbeda satu sama lain. Mungkin memang terdengar sepele. Namun jika ini terjadi pada kal...