BAB 8"GAK! Gue gak mau!"
"Ran!" Dea memasang wajah memelasnya. "Ayolah! Nggak separah ituuu."
"De," Kirana menatap gadis di hadapannya itu dengan jengah, "kalo lo mau nyari sensasi, jangan ngajak-ngajak gue, oke?"
"Jahat!" Dea merengut.
Kirana tidak menjawab, kembali fokus pada buku bacaannya dan menyueki Dea. Dea yang melihat itu jadi tambah cemberut. Tawaran Dea pagi itu memang bagus. Dea mengajaknya untuk makan bersama Gabrel jam istirahat nanti. Gak usah ditanya, Kirana mau kok, mau banget malah.
Tapi, Kirana gak lupa kalau Gabriel benar-benar populer. Apa kata para penggemarnya Gabriel kalau nanti Dea dan Kirana bergabung makan di mejanya Gabriel dan teman-temannya? Kalau Dea sih gak apa-apa, toh semuanya udah tahu kalau mereka kakak beradik. Sedangkan Kirana yang jelas-jelas anak baru di sini dan udah berani duduk di meja kekuasaan Gabriel, pasti dia akan menjadi bahan omongan.
"Ran, iihh." Dea kembali merengek sambil menggoyang-goyangkan lengan Kirana.
"Gak, gue gak mau!"
"Ini Gabriel sendiri yang minta, Ran!"
Kirana menoleh, menatap Dea tidak percaya.
"Apa?" tanya Kirana, meminta pengulangan. "Gak usah bercanda, De."
Dea kembali merengut. "Emang gue seenggak-terpercaya itu ya?"
Kirana mengacungkan jempolnya sambil tersenyum terpaksa, kemudian kembali fokus membaca. Ia memilih tidak lagi memedulikan obrolan ini.
"Tapi lo harus tau, kali ini gue beneran! Nggak ada karangan sama sekali. Gabriel yang nyuruh! Lo tau aja gue gak bakal bisa tolak permintaan dia," kata Dea. "Gue traktir es krim abis ini, deh!"
Mata Kirana langsung membulat sempurna mendengar tawaran Dea yang cukup menggiurkan. Seketika emosinya mendadak luntur ketika mendengar nama makanan favoritnya itu. Es krim? Sepertinya Kirana tidak akan bisa mengatakan 'tidak' untuk traktiran es krim.
Tapi, kenapa Gabriel meminta Dea untuk mengajak Kirana makan bersamanya? Kenapa tiba-tiba begini? Dan... kenapa harus Kirana?
Pikiran Kirana kembali mengingat tentang Gabriel yang tiba-tiba ingin mengantarkannya ke sekolah, meminta Kirana menemaninya mencari buku, dan sekarang menyuruh Dea dan Kirana untuk makan bersamanya. Sikap dan tingkah laki-laki itu benar-benar berubah.
Dari semua itu, entah bermaksud buruk atau baik, Kirana yakin sekali cowok itu punya maksud dan tujuan.
"Rannn?"
Rengekan Dea kembali membuat pikiran Kirana terpecah. Kirana menghela nafas sebelum akhirnya mengangguk pasrah.
***
Bel istirahat berbunyi, membuat Kirana mendesah pelan. Kalau biasanya Kirana yang paling semangat menarik tangan Dea ke kantin begitu bel berbunyi, sekarang Kirana malah sama sekali tidak bersemangat sedangkan Dea terus menyeretnya secara paksa.
"Dea..." Kirana mengeluh. Wajahnya dibuat melas. "Gue nggak makan dulu deh, perut gue mendadak mules."
Tidak, itu hanya alibi agar Kirana bisa pergi ke toilet dan kemudian kabur dari Dea. Alih-alih mules, perutnya malah terus berbunyi karena kelaparan. Dalam sejarah, seorang Kirana tidak akan mungkin melewatkan jam istirahatnya tanpa makan.
"Alesan! Nggak, lo gak boleh kabur!" Tanpa merasa kasihan sedikit pun, Dea justru menarik tangan Kirana lebih erat lagi, memaksanya agar mengikuti langkahnya. Sedangkan Kirana yang sudah merasa seperti peliharaan, hanya mendumel.
***
Dan, di sinilah Kirana dan Dea berada. Di meja kantin paling pojok, dengan dikelilingi oleh perkumpulan laki-laki yang paling rusuh dan berisik di antara yang lain. Meja ini adalah meja kekuasaannya Gabriel dan teman-temannya. Siapapun tidak ada yang berani menempatkan tubuhnya di meja itu.
Namun kini, ada Kirana dan Dea—dua gadis yang tiba-tiba menyempil di antara mereka. Tentu saja semua pengunjung kantin terus-terusan menatapnya dengan tidak suka.
Sedangkan Dea sudah anteng, Kirana hanya mengaduk-aduk mie ayamnya dengan perasaan gelisah. Kepalanya terus menunduk, tidak berani mendongak. Tangan kirinya di bawah mencengkram erat rok abu-abunya—menahan malu.
"Itu siapa cewek yang gabung di mejanya Gabriel?"
"Kok centil banget? Padahal masih ada tempat yang kosong."
"Atau jangan-jangan, mereka berdua pacar salah satu di antara Gabriel and The Gank?"
Bisikan-bisikan itu terus mengusik Kirana. Kirana melirik Dea, kemudian melirik Gabriel. Kakak beradik itu asyik dengan aktifitasnya masing-masing; mengobrol dengan temannya masing-masing dan bercanda ria tanpa beban.
Kirana menggigit bibirnya. Lagi-lagi, lengan mereka—Kirana dan Gabriel—bersentuhan, karena Gabriel memang duduk tepat di sebelah Kirana. Kirana menghela napas. Gak, ini gak baik untuk kesehatan! Jantung Kirana terus berdebaran heboh. Mungkin saja Gabriel bisa mendengar suara detak jantung Kirana, karena jarak antara keduanya benar-benar tipis.
Cepat-cepat tanpa pikir panjang, Kirana bangkit dari kursinya, membuat kursi itu mengeluarkan suara decitan hingga menarik perhatian Gabriel dan teman-temannya.
"Mau ke mana?" tanya Gabriel. Cowok itu melirik mangkuk mie ayam Kirana yang masih bersisa, nyaris tak tersentuh. "Makanan lo masih utuh."
Kirana gugup. Apalagi kini teman-teman Gabriel memperhatikannya. "G-gue udah kenyang. Mau balik ke kelas."
Namun, Dewi Fortuna tidak berpihak pada Kirana ternyata. Perut Kirana malah kembali berbunyi kelaparan. Mampus, mampus! Dasar perut gak solid! Kirana meringis. Pasti suara perutnya terlalu kencang, karena sekarang Gabriel terkekeh menatapnya.
"Yakin udah kenyang?" ejek Gabriel. Gabriel menarik tangan Kirana, membuat sang empunya terkejut. Sontak rasa hangat menjalar di tangannya begitu Gabriel menggenggamnya. "Duduk lagi sini, makan."
Dan, brak!
"Gue berani taruhan ini pertama kalinya Gabriel megang tangan cewek duluan selain keluarganya!"
Gebrakan meja yang disusul dengan seruan dari Farrel membuat penghuni kantin otomatis menoleh.
"Harus diabadikan sih, ini. Kejadian langka!" timpal Keenan, bahkan cowok itu membuka ponselnya—mengambil ancang-ancang untuk memotret.
"Wah, jangan-jangan Gabriel udah 'jedor' anak orang tanpa bilang-bilang ke kita?"
Seruan-seruan itu membuat kantin semakin ramai. Gabriel mendengus, dilepaskannya genggaman pada tangan Kirana dan kembali duduk. Sedangkan tubuh Kirana langsung lemas tak berdaya, darahnya serasa berhenti mengalir semenjak Gabriel menggenggam tangannya.
Dalam hati, Kirana terus merutuki semua yang terjadi di kantin hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teluk Alaska [Hiatus]
Teen FictionLove Different Religion. Kirana dan Gabriel terjebak di status itu. Saling mengingatkan kewajiban yang berbeda satu sama lain. Saling mendoakan dengan cara yang berbeda satu sama lain. Mungkin memang terdengar sepele. Namun jika ini terjadi pada kal...