BAB 6

2.4K 307 85
                                    


BAB 6

KIRANA mendelik. Padahal baru lima menit yang lalu ia menempelkan pantatnya di kursi meja makan dan menyuap nasi gorengnya, namun mama sudah berteriak sejak tadi menyuruhnya untuk segera berangkat.

Mama benar-benar berharap Kirana cepat-cepat pergi dari sini, ya?

"Ih, Mama, santai aja, atuh. Aku baru sesuap, tau!" gerutu Kirana akhirnya, namun matanya tetap tak lepas dari ponselnya.

Dan, ting. Ada pesan masuk yang menarik perhatian Kirana.

Gabriel:
Udah siap?
Gue anter ke sekolah hari ini.

Kirana melotot. H...hah?!

Kirana:
Eh?
Gue bisa sendiri kok...

Gabriel:
Gue udah di depan rumah.
Nyokap lo udah kasih izin.

Tangan kanan Kirana yang hendak menyuap lagi nasi goreng ke mulutnya, jadi mengambang di udara ketika membaca pesan itu. Tatapan Kirana langsung beralih ke mama yang kini sudah anteng duduk sambil membaca majalah dengan secangkir teh hangat di hadapannya. Kirana mendengus. Pantas saja mama menyuruhnya cepat-cepat berangkat!

"Mama!" panggil Kirana. "Gabriel minta izin ke Mama buat anter aku ke sekolah?"

Mama mendengus. "Iya, makanya tadi Mama nyuruh kamu cepet-cepet!"

"Lho, Mama gak bilang," cetus Kirana tak mau kalah. "Kok bisa, Ma?"

"Tadi pagi-pagi banget dia dateng, terus bilang kalo dia mau anter ke sekolah, ya Mama izinin lah. Dia Gabriel yang kemarin anter kamu pulang kan? Ganteng anaknya, mama sampe kaget. Kok dia mau sih, anterin anak kayak  kamu?"

Kirana manyun. Dasar, orangtua yang tidak berperike-anak-an. Anak orang lain dipuji-puji, sedangkan anaknya sendiri gak pernah!

"Aku pake mobil sendiri aja lah Ma..." kata Kirana dengan wajah yang dimelaskan.

Mama melotot. Kirana yang saat itu hendak protes lagi, langsung diam. Ternyata Mama seram juga kalo melotot begitu.

"Terus aku pulangnya gimana?"

"Minta anter Gabriel juga!" kata mama, nyengir. "Lumayan Ran, irit bensin!"

Yeee, si Mama! Dasar pelit! Kirana tambah manyun. Kalau tadi dia manyun dua senti, sekarang bertambah menjadi lima senti.

Kirana menatap jendela kaca yang langsung menampilkan teras rumahnya. Punggung Gabriel terlihat, cowok itu tampak tenang duduk sambil menyeruput teh hangat buatan mama. Kirana menghela napas sambil menyambar tas ranselnya. Seneng sih dianter Gabriel, apalagi ini ketiga kalinya ia duduk diboncengan motor Gabriel.

Tapi apa kata para penggemar Gabriel nanti saat melihat Gabriel membonceng dirinya di motornya—yang katanya, hampir tak pernah diduduki oleh perempuan mana pun.

Eits, tunggu.

Berarti, Kirana cewek pertama yang menduduki jok belakang motor Gabriel, dong?

Wow. Haruskah Kirana merasa spesial?

Tentu tidak. Ingat, Kirana. Jangan geer!

"Oh ya, nanti malam katanya Gabriel mau ajak kamu jalan."

Kirana melotot terkejut mendengar lanjutan dari mama. Nyaris susu stroberi yang di dalam mulutnya tersembur keluar lagi kalau Kirana tidak cepat-cepat menelannya. "HAH?! Kok aneh-aneh aja, sih? Ke mana?"

Mama mengendikkan bahu, cuek. "Gak tau, dia gak bilang sih."

"Terus, Mama izinin lagi?"

Mama mengangguk sambil tersenyum lebar. Tapi detik berikutnya, tatapannya kembali tajam. "Jangan pulang terlalu malam dan jangan macem-macem! Tetap aja kamu belum Mama kasih lampu hijau, lho! Masih kuning!"

Refleks, tangan Kirana mencubit pinggang mama. "Ih, Mama!"

***

Raut wajah Kirana yang semula bersemu, langsung berubah keruh lagi ketika ia mulai menginjakkan kakinya ke halaman sekolah. Kirana menghela napas panjang. Ia sudah mengira hal ini akan terjadi. Sejak Kirana turun dari motor Gabriel sampai Kirana masuk ke kelas, mata orang-orang tidak lepas dari Kirana. Terlebih lagi ketika Gabriel malah mengantar Kirana ke kelas. Padahal jarak kelas Kirana ke kelas Gabriel tidak dekat dan berlawanan arah.

Waktu di motor, Kirana bertanya kepada Gabriel kenapa laki-laki itu tiba-tiba saja tanpa angin tanpa hujan mengajaknya berangkat bersama. Lalu Gabriel menjawabnya dengan enteng.

"Disuruh temen lo, Dea. Segala ngancem gak bakal mau bikinin gue roti bakar, lagi."

Dasar Dea!!! Kirana sampai udah ke-geer-an duluan!

Makanya, begitu sampai di kelas, Kirana langsung buru-buru menyerang Dea dengan beribu pertanyaan. Dea yang saat itu sedang sibuk dengan PR-nya tentu saja terkejut. Bukan Dea namanya, kalau mengerjakan tugas tepat waktu. Dan bukan Dea namanya, kalau tidak membuat Kirana semakin kesal dengan jawabannya.

"Yakin, kesel? Nggak seneng?"

Kirana cemberut di tempatnya. "Seneng, tapi nggak gitu juga, Deee! Gue jadi pusat perhatian anak-anak di sini!"

Dea malah tertawa, tanpa melihat wajah Kirana pun ia tahu gadis itu sedang memasang wajah burung perkututnya saat ini. Tapi, Dea langsung menghentikan tawanya ketika menyadari sesuatu, bersamaan dengan tangannya yang ikut berhenti menulis.

"Tapi, Ran..." Dea menggantung kalimatnya. Ia menatap Kirana bingung. "Gue baru ngeh. Gue nggak nyuruh Gabriel buat anterin lo ke sekolah."

Mendengarnya, Kirana makin kesal. "Nah, kan! Ngelak, lagi!"

"Nggak, ciyus!" Dea membentuk tangannya menjadi huruf V. "Gue bahkan belum ngobrol apapun sama Gabriel dari tadi pagi."

Kirana mengernyit. Otaknya berputar, mencerna apa yang dikatakan Dea. Jadi, maksudnya, Gabriel—ah, masa iya, sih?

"Gak jelas, lo." Kirana berdecak kesal. Malas berurusan dengan Dea lagi, ia mengeluarkan ponselnya. Dipasangnya earphone pada kedua telinganya, lalu mulai bersenandung kecil mengikuti irama lagu yang ia setel.

"Ran, Ran. Menurut gue sih..." Dea merapatkan tubuhnya kepada Kirana. Suaranya setengah berbisik. "...itu akal-akalannya Gabriel doang!"

Kirana mengernyit, lagi.

"Biar ada alesan kenapa dia mau nganterin lo, Ran," kata Dea. "Dia gengsian lho. Jadi, dia bilang ke lo kalo gue yang nyuruh!"

Setelah menyelesaikan penuturannya, Dea kembali mengerjakan tugasnya karena bel akan berbunyi lima menit lagi. Sedangkan Kirana, masih termangu di tempatnya.

Masa sih?

Teluk Alaska [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang